Minggu, 09 Januari 2011

Pasca-Strukuralis


TEORI  PASCA – STRUKTURALIS

            Pada bagian akhir tahun 1960–an, strukturalisme melahirkan pasca– strukturalisme. Aliran ini mencoba mengempiskan pretense–pretense ilmiah strukturalisme. Jika strukturalisme heroic dalam kehendaknya untuk menguasai dunia tanda yang dibuat orang, maka pasca strukturalisme adalah komik dan anti heroic dalam penolakannya terhadap tuntutan seperti itu secara sungguh–sungguh.
            Pikiran pasca strukturalis telah menemukan kodrat pemaknaan yang tidak stabil secara esensial.Kebanyakan tanda bukanlah sebuah unit berisi dua, seperti sebuah “fix” (penentuan posisi) di antara dua lapisan yang bergerak.
   
ROLAND BARTHES : TEKS JAMAK

             Barthes adalah ahli teori Perancis yang paling menyenangkan, jenaka, dan berani pada tahun 1960–an dan tahun 1970-an.Ia mendefinisikan kesusastraan (dalam sebuah esai awalnya) sebagai sebuah pesan pemaknaan hal–hal dan bukan maknanya. Dosa paling buruk seorang penulis apabila ia berpura–pura bahwa bahasa adalah sebuah medium yang alamiah, transparan dn melaluinya pembaca menangkap kebenaran atau realitas yang kokoh dan menyatu.
            Sesuatu yang menandai fase pasca strukturalis dalam karya–karya Barthes adalah usahanya melepaskan aspirasi ilmiah. Dapat dikatakan bahwa periode pasca– strukturalis Barthes yang paling baik digambarkan oleh esai pendeknya “Kematian Penulis”. Ia menolak pandangan tradisional yang menyatakan bahwa pengarang adalah asal–usul teks, sumber artinya, dan satu–satunya otoritas penafsiran. Formula Barthes sangat radikal dalam penolakannya terhadap gagasan–gagasan humanistik sebagaimana sebelumnya. Pengarang dilepaskan dari semua status metafisik dan direduksi menjadi tempat (persimpangan jalan) di mana bahasa yng menjadi gudang kutipan, ulangan gema, dan rujukan yang tak terbatas, saling bersimpangan. Oleh karena itu, pembaca bebas memasuki teks dari arah manapun; tidak ada rute yang benar. Kematian pengarang sudah terkandung dalam strukturalisme, yang memperlakukan ucapan individual (parole) sebagai system impersonal (langues). Apa yang baru dalam Bartes adalah ide bahwa pembaca bebas membuka dan menutup proses pemaknaan teks tanpa mematuhi petanda.Mereka bebas menikmati teks mengikuti deretan penanda yang semau–maunya meluncur dan mengelak dari tangkapan petandanya. Para pembaca adalah juga tempat–tempat kerajaan bahasa, tetapi mereka bebas menghubungkan teks dengan system arti dan mengabaikan ‘intensi’ pengarang.
            Dalam The Pleasure of The Text  (kenikmatan teks) Barthes (1975)  mengkaji sikap bebas yang semau–maunya ini.Ia mulai dengan pembedaan antara dua arti “pleasure” (kenikmatan). Pleasure diartikan sebagai plesure (kenikmatan) dan “Bliss” (kebahagiaan).

 JULIA KRISTEVA : BAHASA DAN REVOLUSI

            Teori Kristeva didasarkan pada system pemikiran yang khusus: psikoanalisis. Buku ini berusaha melihat proses yang menyebabkan apa yang diatur dan diterima secara rasional terus-menerus terancam oleh sifat “heterogen” dan “irasional”. Pikiran Barat telah lama menganggap keperluan sebuah “subjek” yang diperlukan.
            Kristeva memberikan kepada kita catatan psikologis yang kompleks tentang hubungan antara yang “normal” dan yang “poetic”. Manusia itu merupakan permulaan ruang angkasa yang dilalui lewat impulse psikis dan fisis yang mengalir secara ritmis.
            Kristeva menghubungkan penggunaan bunyi dalam puisi dengan impuls seksual yang primer.        Karena semiotik menjadi teratur, jalan setapak yang ditempuh menjadi sintaksis yang logis dan koheren dan realitas orang dewasa yang disebut oleh Kristeva sebagai “simbolik”. Kristeva mengambil penjelasan Lacan yang mengikuti Freud tentang perkembangan fase ini.
            Kata “revolusi” dalam judul Kristeva bukan hanya metaforik. Kemungkinan perubahan sosial yang radikal menurut pandangannya terikat dengan rongrongan wacana yang bersifat otoriter. Bahasa puisi memperkenalkan keterbukaan semiotik yang subversive “melintasi” sussunan simbolik masyarakat yang “tertutup”.




JAQUES LACAN: BAHASA DAN KETIDAKSADARAN

            Tulisan-tulisan psikoanalitik Lacan telah memberikan teori baru tentang “subjek” kepada para kritikus. Para kritikus Marxis, formalis, dan strukturalis telah membuang kritik sastra subjektif seperti romantik dan reaksioner, tetapi kritik aliran Lacan telah memperkembangkan sebuah analisis “materialis” tentang “subjek yang berbicara” yang telah lebih dapat diterima.
            Lacan menganggap bahwa subjek-subjek manusia itu memasuki system penanda yang telah ada sebelumnya yang mempunyai hanya dalam system bahasa.
            Menurut Freud selama fase-fase awal masa kanak-kanak dorongan lebih tidak mempunyai objek seksual yang tertentu, tetapi bermain sekitar bermaca-macam daerah badan yang menimbulkan nafsu erotic (mulut, dubur, “lingga”.
            Pembedaan Lacan antara “imajiner” dan “simbolik”, sesuai dengan “semiotik” dan “simbolik” bagi Kristeva. “imajiner” ini adalah suatu keadaan yang di dalamnya tidak terdapat perbedaan jelas antara subjek dan objek: tidak ada pusat eksistensi diri untuk memisahkan objek dan subjek.
             Baik yang imajiner maupun yang simbolik tidak dapat secara penuh memahami kenyataan alih yang tetap di luar, di sesuatu tempat yang tak terjangkau mereka. Keperluan naluriah kita dibentuk oleh wacana tempat kita mengekspresikan kehendak kita untuk kepuasan. Bagaimanpun juga pembentukan keperluan-keperluan wacana tidak meninggalkan kepuasan melainkan kehendak, yang menggenlinding dalam rantai penanda.
            Lacan menyatakan kembali teori freud dalam bahasa Saussure. Pada hakikatnya, proses tidak sadar diidentifikasi dengan penanda yang tidak tetap.  Usaha Saussure untuk menutup jurang antar sistem penanda dan petanda sis-sia.
            Aliran Freud yang dianutnya telah mendorong kritik sastra modern untuk meninggalkan kepercayaan kepada kekutan bahasa yang merujuk kepda benda dan mengekspresikan gagasan atau perasaan. Kesusastraan modernis sering menyerupai mimpi dalam  penolakannya terhadap posisi naratif yang menguasai dan permainan artinya yang bebas. Lacan sendiri menulis analisi yang banyak dibicarakan atas “Surat yang Dicuri” karya Poe, sebuah cerita yang berisi dua episode.
             
JACQUES DERRIDA: DEKONSTRUKSI

            Makalah Derrida yang berjudul “ Struktur, Tanda dan Drama dalam Wacana Ilmu–ilmu Pengetahuan Manusia” yang disampaikan dalam symposium di Universitas Johns Hopkins pada tahun 1966 telah membuka gerakan kritik baru di Amerika Serikat. Argumennya mempertanyakan asumsi–asumsi metafisik dasar filsafat barat sejak Plato.
            Menurut Derrida dalam karya klasiknya tentang Gramatologi, kehendak untuk sebuah pusat disebut “Logosentrisme” ( aliran yang memokokkan kata). Sejarah filsafat Barat, bagi Derrida adalah sejarah “Pergantian dari satu pusat ke pusat lain, meski dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda”. Ciri yang menonjol dari pemikiran filsafat Barat adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner (binary oppositions) yang bersifat hirarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksiden, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/ empiris, positif/negatif, konsep/metaphor dan seterusnya) dengan anggapan bahwa yang pertama merupakan pusat, asal muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedang yang kedua hanya sebagai derivasi, manifestasi, pinggir dan sekunder dalam kaitannya dengan yang pertama (Derrida dalam Sahal, 1994:19).
Pemikiran tentang pusat lebih lanjut Derrida mengungkapkan:
“Pemikiran klasik mengenai struktur, bisa mengatakan bahwa pusat, secara paradoksal, berada di dalam struktur dan sekaligus di luarnya. Maka secara tradisional, pusat-pusat biasa digunakan untuk mendasarkan struktur-struktur. Namun jika kita berpikir mengenai implikasi-implikasi paradoks itu, kita akan menyadari bahwa pendasaran tersebut hanyalah ilusi. Nietzsche, Freud, dan Heidegger (untuk menyebut tiga nama saja), telah membimbing kita untuk memandang bahwa tidak ada pusat, bahwa pusat tak dapat dipikirkan dalam bentuk suatu ada-yang-hadir, bahwa pusat tidak memiliki situs ilmiah, bahwa pusat bukanlah suatu fokus yang pasti namun merupakan suatu fungsi, sejenis non-locus di mana pertukaran tanda dalam jumlah tak terbatas berlangsung” (Derrida dalam Hart, 2002: 76).
Mencermati hal itu, Derrida lantas melakukan apa yang disebut dengan dekonstruksi, yakni upaya membebaskan dari belenggu berpikir oposisi biner. Dekonstruksi bagi Derrida juga merupakan “an oppennes towards the others”, terbuka terhadap yang lain. Istilah dekonstruksi awalnya digunakan Heidegger, khususnya manakala ia berkata bahwa; “… konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus serentak destruksi, yaitu dekonstruksi konsep-konsep tradisional dengan cara justru kembali ke tradisi ….” (Heidegger dalam Sugiharto, 1996:43).
Dekonstruksi sangat sulit didefinisikan. Justru dekonstruksi menolak definisi karena Derrida menghalangi pendefinisian tersebut. Ia mulai dengan menegaskan bahwa dekonstruksi bukan sebuah metode atau sebuah teknik, atau sebuah gaya kritik sastra literatur atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Ia memperingatkan kita agar tidak menggantikan pembacaan dekonstruksi dengan pemahaman konseptual tentang pembacaan tersebut (Grenz, 2001: 235).
Dekonstruksi juga tidak mengarahkan pada bentuk netralitas, tapi lebih pada usaha menjungkirbalikkan dualisme klasik, seperti yang diungkapkan Derrida: “Dekonstruksi tidak dapat membatasi dirinya pada netralisasi atau maju menuju netralisasi, ia harus menjungkirbalikkan dualisme klasik dan memporak-porandakan sistem yang ada melalui bahasa tubuh berganda, ilmu pengetahuan berganda, dan tulisan berganda. Hanya dalam situasi ini, dekonstruksi dapat menembus masuk dalam dualisme yang dikritiknya, yang juga merupakan area kekuatan-kekuatan yang tidak terputus. Setiap konsep berada dalam rantai sistematis dan pada dirinya merupakan sebuah sistem penyebutan. Tidak ada konsep metafisik dalam dan pada dirinya sendiri. Ada sebuah karya–metafisik atau bukan–mengenai sistem–sistem konseptual. Dekonstruksi bukan berpindah dari satu konsep kepada konsep lainnya, tetapi menjungkirbalikkan dan merusak sebuah tatanan konseptual dan tatanan nonkonseptual, yang merupakan sarana untuk menyatakan sebuah tatanan konsep” (Derida dalam Grenz, 2001: 236).
Derrida mengungkapkan bagaimana selama ini sebuah tulisan membawa sebutan-sebutan yang telah ditata, dipisahkan, dan dipertahankan oleh kekuatan-kekuatan dan disesuaikan dengan kebutuhan analisis. Sebutan-sebutan inilah yang memiliki kekuatan mengatakan secara umum (generalisir), menyamakan segala sesuatu (generalisasi), dan melahirkan sesuatu yang baru (generativitas) menganggap dirinya bebas menuju sebuah konsep penulisan “baru” yang juga berhubungan dengan segala sesuatu yang menghambat penataan kekuatan-kekuatan yang dulu.
Penataan yang dulu selalu berupa sisa-sisa yang tidak dapat dileburkan kepada kekuatan dominan yang mengatur hierarki logisentris. Memberikan nama penulisan yang lama kepada konsep yang baru ini, sama dengan mempertahankan struktur pencangkokan, perpindahan, dan penempelan kepada intervensi efektif dalam sejarah yang ada. Ini juga memberikan kesempatan dan kekuatan, khususnya kekuatan komunikasi mereka, dan segala sesuatu yang diperlukan dalam melaksan akant ugas dekonstruksi (Grenz, 2001:236).
Filsafat itu pada dasarnya adalah tulisan, ambisi filsafat umumnya adalah melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan itu, keluar dari bentuk fisik kebahasaan yang digunakannya itu. Ia ingin agar bahasa yang digunakannya itu menjadi sasaran transparan yang menampilkan makna dan kebenaran real yang bersifat ekstralinguistik. Cara yang biasanya ditempuh adalah dengan mengacu pada dasar yang diklaim sebagai eviden dan menata logika sedemikian rupa hingga tampil utuh, koheren dan tidak ambigu. Namun bagi Derrida semua ambisi dan upaya macam itu takakan pernah mungkin berhasil.
Pembacaan dekonstruktif lalu hendak menunjukkan ketidakberhasilan itu, yaitu menunjuk agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks. Maka Derrida meyakini, bahwa; “Di balik teks filosofis yang terdapat bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain, suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tidak jelas”. (Sugiharto, 1996: 45). Pada akhirnya bagi Derrida, tidak ada dunia murni yang netral karena semuanya merupakan “teks”, jalinan tanda-tanda. Karena makna tidak langsung hadir pada tanda, maka yang kita dapatkan hanyalah “bekas” (trace).
Dalam Areopagitica Milton menantang lisensi buku karena ia percaya bahwa kita hanya dapat berbudi luhur jika kita diberi kesempatan berjuang melawan kejahatan: bahwa yang menyucikan kita adalah percobaan,, percobaan adalah sesuatu yang bertentangan. Karena itu kebaikan datang sesudah kejahatan. Suatu pembacaan dekonstruksi akan berlangsung untuk mengakui bahwa pasangan kebaikan-kejahatan tidak dapat diurutkan secara hirarki dalam arah mana pun tanpa kekerasan. Kejahatan merupakan tambahan dan penggantian. Dekonstruksi telah dapat dimulai apabila kita menempatkan waktu ketika sebuah teks melampaui hokum-hukum yang tampaknya mengadakan dirinya sendiri. Pada titik ini teks menjadi kepingan-kepingan begitu dikatakan.
Dalam “Tanda tangan Peristiwa Konteks” Derrida memberikan tiga ciri kepada tulisan:
1.      Tanda tertulis adalah sebuah tanda yang dapat diulangi tanpa kehadiran, bukan hanya ketakberadaan subjek yang mengucapkannya dalam konteks tertentu, tetapi juga keberadaan seorang addressee (lawan bicara);
2.      Tanda tertulis dapat merusakkan “konteksnya yang nyata” dan dapat dibaca dalam konteks yang berbeda tanpa memandang apa yang dimaksudkan pengarangnya. Setiap rangkaian tanda dapat “dicangkokkan “ menjadi wacana dalam konteks yang lain (seperti dalam kutipan);
3.      Tanda tertulis tunduk kepada “pembuatan jarak” (“espacement”) dalam dua arti: pertama, arti itu terpisah dari “referensi yang hadir” (yaitu, arti itu dapat merujuk kepada hanya sesuatu yang tidak secara nyata hadir di dalamnya). 

Teori J.L. Austin tentang “laku ujaran” dikembangkan untuk menolak pandangan tentang bahasa positivis-logis yang lama, yang berasumsi bahwa hanya pernyataan yang lain bukanlah pernyataan yang nyata, melainkan “pernyataan palsu”. Austin mempergunakan istilah “konstatif” untuk merangkum yang pertama (pernyataan rujukan), dan “performatif” untuk merangkum ujaran yang secara nyata melaksanakan lakuan yang mereka uraikan  (aku bersumpah untuk menceritakan seluruh kebenaran dan tiada yang lain kecuali kebenaran, semata dalam perwujudan sebuah doa).
Derrida mengakui bahwa hal ini membuat pemutusan dengan pemikiran logosentrisme sebab sebagaimana diketahui ujaran itu tidak harus menggambarkan sesuatu yang mempunyai arti. Namun, Austin juga membedakan tingkat-tingkat kekuatan linguistik. Untuk membuat hanya sebuah ucapan linguistik (katakanlah, mengucapkan sebuah kalimat bahasa inggris, misalnya) itu adalah tindak locutionary (cara berkata). Laku ujaran yang tidak mempunyai kekuatan illocutionary melibatkan pelaksanaan laku itu (untuk berjanji, bersumpah, menuntut, memastikan, dan sebagainya. Sebuah laku  ujaran mempunyai kekuatan perlocutionary jika laku ujaran itu menghasilkan sebuah efek (Aku membujukmu dengan menuntut;aku meyakinkan dengan bersumpah ; dan sebagainya).
Austin mensyaratkan bahwa laku ujaran harus mempunyai konteks. Sebuah sumpah hanya mungkin terjadi di pengadilan dalam rangka persidangan yang tepat atau dalam situasi-situasi lain yang secara konvensional sumpah dilakukan. Derrida mempertanyakan hal ini dengan menyarankan bahwa kemungkinan ulangan (“iterability”) laku ujaran itu adalah lebih mendasar daripada penempelannya pada suatu suatu konteks.

Austin mencatat sambil lalu bahwa agar bersifat “performatif” sebuah pernyataan harus diucapkan secara “sungguh-sungguh” dan tidak untuk lelucon atau sepert dipergunakan dalam drama atau puisi. Derrida menyelidiki hal ini dan secara rapi memperlihatkan bahwa performatif (pelaksanaan) “yang serius” tidak dapat terjadi kecuali jika hal itu merupakan rangkaian-tanda yang dapat diulang (apa yang disebut oleh Barthes “selalu-telah-tertulis”.


DEKONSTRUKSI SEBAGAI SEBUAH STRATEGI

. Derrida menyatakan dalam sebuah tulisannya bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah teori, bukan pula sebuah metode atau konsep, saya melihat Derrida tidak memberikan definisi yang mudah pada Dekonstruksi. Selanjutnya, dalam essaynya tersebut Derrida mulai memberikan indikasi bahwa Dekonstruksi adalah sebuah strategi, dimana kontekspun juga dikategorikan sebagai teks.
Derrida menyebut Dekonstruksi sebagai aksi pembongkaran, pemisahan, dan penghancuran konstruksi dalam suatu system teks, dengan tujuan untuk melakukan investigasi dan explorasi terhadap aspek-aspek dan hal-hal yang terdefer atau yang tertunda. Tertunda disini maksudnya adalah segala sesuatu yang tidak disampaikan teks, tidak terlihat, dan tidak disebutkan di dalam teks, wujud dari hal-hal yang terdefer ini adalah kontradiksi, atau menurut istilah Dekonstruksi disebut Aporia. Aporia adalah kunci bagi proses Dekonstruksi, kunci untuk membongkar dan mengguncang suatu system teks. Selanjutnya proses dekonstruksi akan bermuara pada penyerangan untuk mematahkan dan membantah Hierarchy yang mendominasi suatu teks. Hierarchy atau Tyranny adalah istilah dekonstruksi yang mengacu pada segala sesuatu (tema, anggapan, diskursus, Ideologi, sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran, segala sesuatu yang dinggap salah, atau apa saja yang terlihat jelas mendominasi di dalam teks) inilah yang menjadi target untuk dipatahkan, dibantah, dan diputar balikkan sehingga hal-hal atau aspek- aspek yang selama ini tidak terlihat dan terdefer bisa diangkat ke permukaan teks.
Balik lagi ke differance, kita tahu bahwa Differance adalah salah satu dari beberapa terminologi Dekonstruksi, dan semua itu digolongkan sebagai strategi. Differance adalah strategi analitik yang paling banyak digunakan selain Pharmakon, Parergon, Ecriture, invagination, Hymen, Antame dll. Berbicara mengenai Differance kadang-kadang terkesan mengerikan, karena Derrida selalu menghubungkannya dengan kehancuran dan kematian, tentu kematian yang dimaksud Derrida adalah patahnya atau terbantahnya sebuah hierarchy yang selama ini mendominasi teks.
Ini adalah tiga kutipan dari buku Margin of Philosophy yang menegaskan bahwa pengaplikasian strategi Differance dalam proses dekonstruksi adalah bertujuan untuk menggoncang, membongkar, dan menghancurkan atau mematahkan segala sesuatu yang mendominasi sebuah teks, Derrida bahkan mengatakan bahwa penggunaan strategi differance adalah dimaksudkan untuk menghasilkan kondisi ekonomi kematian bagi hierarchy, atau kondisi hancurnya suatu hierarchy yang mendominasi teks. 
Disinilah peranan proses investigasi terhadap segala sesuatu yang tidak disampaikan teks atau kontradiksi yang tidak terlihat/tidak muncul/tertunda (terdefer), proses ini akan membawa kondisi kematian bagi suatu hiearachy atau dalam bahasa yang lebih sederhana saya sebut saja kondisi patahnya atau terbantahnya hal-hal yang mungkin mendominasi dan dianggap benar (bisa juga terhadap hal-hal yang dianggap salah) di dalam teks dan di dalam pikiran orang-orang selama ini.
 
DEKONSTRUKSI ALIRAN AMERIKA

Raman Selden dan Peter Widdowson menjelaskan secara gamblang tentang pemetaan kajian pasca-struktural dalam buku A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory: Third edition, kajian pasca-struktural memainkan peranan sebagai ‘grand theory’ dalam bahasa Indonesia saya terjemahkan sebagai sebuah teori besar, di bawah bendera pasca-struktural bernaung beragam teori, contohnya: Dekonstruksi (Derrida) American Deconstruction/Yale School/dekonstruksi Amerika  (Paul De Man, Harold Bloom, Hayden White), kajian New Functionalism yang terbagi atas Panopticism, Discourse and Power/knowledge (Michel Faucault), Post-structuralist Psychoanalysis (Jacques Lacan), Schizoanalysis (Deleuze dan Guattari), New Historicism (Stephen Greenblatt, Tilyard). Sedangkan Hans Bertens dalam bukunya Literary Theory The Basics menambahkan bahwa French Feminism (Helene Cixous) juga dikategorikan sebagai bagian dari kajian Pasca Struktural. Jadi jelaslah sudah bahwa pasca-struktural itu bukan cuma Dekonstruksi saja, akan tetapi mencakup beragam teori-teori lain.
Karya Paul de Man, Kebutaan dan penglihatan (1971) dan Alegori–alegori Pembacaan (1979) adalah karya–karya dekonstruksi yang keras dan mengesankan. Mereka jelas berutang budi pada Derrida, tetapi Derrida memperkembangkan terminologinya sendiri. Dalam buku yang pertama de Man mengisahkan tentang paradoks bahwa kritikus hanya mencapai penglihatan melalui kebutaan tertentu. Mereka mengambil suatu metode atau suatu teori yang sangat ganjil dengan penglihatan yang dihasilkannya.
Dalam Alegori Pembacaan de Man memperkembangkan suatu tipe dekonstruksi yang retoris.”Retorik” adalah istilah klasik bagi seni persuasive de Man berkenaan dengan teori “trope” (bahasa kiasan)yang mengikuti perlakuan retoris.Bahas kiasan (trope) membiarkan para penulis untuk mengatakan satu hal tetapi berarti sesuatu yang lain: mengganti satu tanda bagi yang lain (metafora)atau mengganti arti satu tanda dalam sebuah rangkaian dengan yang lain ( metonimi)
Beberapa kritikus yang mengikuti jejak Paul de Man adalah Hayden white dengan bukunya yang berjudul Tropics of Discourse (1978) , Harold Bloom, Geofrey Hartman, J.Hillis Miller, dan masih ada beberapa penulis lain.

 WACANA DAN KEKUATAN: MICHEL FOUCAULT DAN EDWARD SAID

Pikiran pasca-strukturalis yakin bahwa dunia bukan hanya suatu tatasurya teks. Beberapa teori tekstualis melalaikan kenyataan bahwa wacana tersebut meliputi kekuasaan. Mereka mereduksi kekuasaan politik dan ekonomi, serta kontrol ideologi dan moral. Kepada aspek-aspek yang berkaitan dengan proses pemaknaan. Ketika seorang Hitler dan Stalin tampak mendikte kepada seluruh bangsa dengan tenaga wacana, absurdlah untuk memperlakukan efek itu sebagai hanya terjadi dalam wacana. Nyatalah bahwa kekuasaan sebenarnya dilaksanakan melalui wacana dan kekuasaan.
Nietzsche merupakan seorang filosof Jerman yang mengatakan bahwa orang pertama sekali memutuskan apa yang diingini,setelah itu mencocokkan fakta dengan tujuan itu; “Akhirnya, orang tidak mendapatkan apa-apa dalam benda kecuali apa yang telah diimportnya sendiri kepada hal-hal itu”. Semua pengetahuan adalah suatu ekspresi “Kehendak kepada kekuasaan”. Berarti bahwa kita tidak dapat berbicara tentang sesuatu kebenaran yang mutlak atau tentang pengetahuan yang objektif. Orang mengenal karya filsafat khusus atau teori kelimuan sebagai “benar” hanya jika hal itu cocok dengan deskripsi kebenaran yang diletakkan oleh otoritas intelektual dan politis pada saat itu, dengan anggota-anggota elite yang memerintah, atau dengan ideologi pengetahuan yang berlaku.
Foucault memandang wacana sebagai pusat aktivitas manusia, tetapi bukan sebagai “teks umum” yang universal, sebuah lautan makna yang luas. Foucault tertarik pada dimensi historis tentang perubahan yang tidak saling bersambungan. Apa yang mungkin dikatakan akan berubah dari satu zaman ke zaman lain. Dalam ilmu pengetahuan, sebuah teori tidak diakui dalam periodenya sendiri jika teori itu tidak bersesuaian dengan konsensus kekuasaan lembaga-lembaga dan organ-organ resmi ilmu pengetahuan.
Teori genetik Mendel tidak diacuhkan orang pada tahun 1960-an: teori itu diumumkan dalam “kekosongan” dan harus menanti sampat abad ke-20 untuk dapat diterima. Tidaklah hanya cukup berbicara tentang kebenaran: orang harus berada “dalam kebenaran”.
Dalam karya awalnya pada “Kegilaan”. Foucault menjumpai kesukaran untuk mendapatkan contoh-contoh wacana “gila” (kecuali dalam kesusastraan: de Sade, Artaud). Kesimpulannya bahwa aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang memutuskan apa yang mereka keluarkan. Individu-individu yangbekerja dalam praktik wacana tertentu tidak dapat berpikir atau bicara tanpa menuruti “arsip” aturan-aturan dan batasan-batasan yang tidak diucapkan. Penguasaan kerja wacana ini tidak hanya dengan pengeluaran, tetapi juga “penghalusan” (tiap praktik mempersempit isi dan artinya dengan berpikir hanya dalam istilah “penulis” dan “disiplin”).
Buku-buku Foucault, terutama Madness and Civilization (1961), The Birth of the Clinic (1963), The Order of Things (1966), Discipline and Punish (1975), dan The History of Sexuality (1976) menunjukkan bermacam-macam bentuk “pengetahuan” tentang seks, kejahatan, psikiatri, dan obat-obatan yang muncul dan digantikan. Ia memusatkan perhatian pada pergeseran yang terkadi dari zaman ke zaman.
Kebijakan pengetahuan seringkali dihubungkan dengan nama pribadi (Aristoteles, Plato, Aquinas, Locke, dan sebagainya), namun perangkat aturan struktural yang menerangkan bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan berada di luar kesadaran individu.

Dalam The Order of Things (Aturan Benda-benda), Foucault menunjukkan bahwa dalam periode ini persamaan memainkan peran utama dalam susunan semua pengetahuan. Tiap-tiap hal menggemakan hal lain; tak satu pun berdiri sendiri. Pandangan dalam puisi John Donne, yang pikirannya tidak pernah berhenti pada  sebuah objek, tetapi beregrak ke belakang dan ke muka dari rohani ke jasmani, dari Kemanusiaan ke Ketuhanan; dari universal ke individual. Dalam karyanya Kesetiaan ia  menguraikan dalam istilah kosmik gejala-gejala penyakit demam yang hampir membunuhnya, menghubungkan mikrokosmos (manusia) dengan makrokosmos (alam); kegemetarannya adalah “gempa bumi”, kelemahannya adalah “gerhana”, dan nafas demamnya yang panas adalah “bintang-bintang yang menyala”.
Melalui Nietzsche, Foucault menolak bahwa kita pernah memiliki pengetahuan sejarah yang objektif. Tulisan sejarah akan menjadi kusut dalam kiasan-kiasan (trope); tulisan sejarah itu tak pernah dapat menjadi sebuah ilmu pengatahuan. Revolusi dan Ulangan (1979) karya Jeffrey Mehlman menunjukkan bagaimana Bramaire Kedelapan Belas karya Marx menggambarkan “revolusi” Louis Napoleon sebagai sebuah”ulangan menggelikan” dari revolusi pamannya. Catatan sejarah Marx, menurut Mehlman, menyatakan ketidakmungkinan pengetahuan; hanya ada trope (kiasan) “ulangan” yang absurd. Foucault tidak memperlakukan strategi yang bisa dipakai penulis berguna untuk memberi arti pada sejarah sebagai permainan tekstual semata-mata. Dalam dunia politik, seni, dan ilmu pengetahuan, kekuasaan diperoleh lewat wacana; wacana adalah “perkosaan yang kita lakukan terhadap benda-benda”.
Tuntutan kepada objektivitas yang dibuat demi wacana tertentu selalu palsu, tidak ada wacana yang “benar” secara mutlak, hanya lebih kurang merupakan wacana yang mempunyai kekuatan.
Edward Said (murid Foucault di Amerika) yang merupakan seorang Palestina tertarik pada versi pasca-strukturalis aliran Nietzsche Foucault karena hal itu mengizinkannya menghubungkan teori wacana dengan perjuangan kemasyarakatan dan politik yang nyata. Bukunya tentang Orientalisme menunjukkan bagaimana imaji Barat tentang Bangsa Timur, yang terbentuk oleh beberapa jenis generasi sarjana menghasilkan mitos tentang kemalasan, kebohongan, dan ketidakrasionalan bangsa Timur. Dengan menentang wacana Barat ini Said mengikuti logika teori-teori Foucault; tidak ada wacana yang tetap untuk selamanya; baik sebab maupun akibat.

Dalam esai berjudul The World, the Text, and the Critic (1983), Said mengeksplorasi “keduniaan” teks. Ia menolak pandangan bahwa ucapan ada dalam dunia, dan bahwa teks dipindah dari dunia, hanya memiliki keberadaan yang kabur dalam pikiran para kritikus. Ia yakin bahwa kritik sastra masa kini menyatakan secara berlebih-lebihan “ketidakterbatasan” penafsiran karena kritik itu memotong hubungan antar-teks dengan kenyataan. Kasus Oscar Wilde menyarankan Said bahwa semua usaha untuk menceraikan teks dari kenyataan akan berakhir dengan kegagalan. Wilde mencoba menciptakan sebuah dunia dalam sebuah epigram.
Kekuatan sebuah kritik menurut Said yang menekankan bahwa jika kita menulis sebuah esai kritik, kita dapat masuk ke satu atau beberapa hubungan dengan teks dan pembaca, atau pada sisi salah satu diantaranya. Said mengemukakan sebuah pernyataan yang menarik perhatian mengenai konteks kesejarahan nyata esai itu: “Apakah kualitas ucapan esai, terhadap, jauh dari, ke dalam aktualitas, arena vitalitas kesejarahan dan kehadiran nontekstual yang terjadi secara simultan dengan esai itu sendiri?” singkatnya, karena pikiran pasca-strukturalis tidak memasukkan yang “nontekstual”. Kata-katanya (aktualitas, nontekstual, kehadiran) adalah sebuah penghinaan kepada pasca-strukturalisme.
Para kritikus strukturalis mengemukakan usaha mengusai teks dan membongkar rahasianya. Kaum pasca-strukturalis yakin bahwa keinginan ini sia-sia karena kekuatan sejarah atau linguistik yang tidak disadari, yang tidak dapat dikuasai. Pendanda (signifier) mengambang jauh dari petanda (signified), juissance (kenikmatan) melarutkan arti, semiotik mengacaukan simbolik, difference (perbedaan) menyisipkan pemisah antara penanda dan petanda, dan kekuatan membubarkan pengetahuan yang mantap. Pasca-strukturalis lebih mennayakan masalah-masalah daripada jawaban-jawaban; mereka menangkap perbedaan-perbedaan diantara apa yang dikatakan teks dan apa yang dipikirkan untuk dikatakannya. Mereka menolak keterpencilan “kesusastraan” dan mendekonstruksi wacana-wacana nonliterer dengan membacanya sebagai kesusatraan.

1 komentar:

  1. Online Casino - Kadangpintar
    Online Casino in 온카지노 Singapore, Asia. Get your bonus and 제왕카지노 play online casino games for real money on KADANGPintar! ⭐ Online Casino Singapore ⭐ Free หารายได้เสริม Welcome

    BalasHapus