Kamis, 20 Januari 2011

Analisis SWOT KTSP SMP

ANALISIS KURIKULUM KTSP DI SMP N 1 BOJONG
KABUPATEN PEKALONGAN

1. LATAR BELAKANG
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional.Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005.
Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL.Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai referensi.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :
(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(b) belajar untuk memahami dan menghayati,
(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

2. TUJUAN KTSP
Tujuan umum dari kurikulum KTSP yaitu untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.
Tujuan khusus dari kurikulum KTSP yaitu untuk:
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia,
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama,
3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.


3. IMPLEMENTASI KTSP
Kurikulum Tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang dilaksanakan secara nasional sejak tahun 2007/2008 merupakan inovasi tiada henti dalam bidang kurikulum dan sebagai upaya pembaharuan dalam pendidikan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Terkait dengan hal itu sebagian pelaksana pendidikan masih awam untuk mengimplementasikan kurikulum tersebut, karena untuk mengimplementasikan KTSP sesuai dengan panduan atau ketentuan yang dikeluarkan oleh BSNP, maka para pelaksana pendidikan (Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Guru, Komite Sekolah, Yayasan) harus memahami konsep KTSP secara benar dan komperhensif.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi (SI), proses, kompetensi lulusan(SKL), tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.

KTSP menekankan pada kemampuan yang harus dicapai, dan dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kemampuan lulusan yang harus dinyatakan dengan standar kompetensi, yaitu kemampuan minimal apa yang harus dicapai lulusan. Standar kompetensi lulusan merupakan modal utama untuk bersaing ditingkat regional maupun global., karena persaingan sumber daya manusia. Karateristik kurikulum ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil belajar dinyatakan dengan kemampuan atau kompetensi yang dapat didemonstrasikan atau ditampilkan.
2. Semua peserta didik harus mencapai ketuntasan belajar, yaitu menguasai semua konpetensi dasar.
3. Kecepatan belajar peserta didik tidak sama.
4. Penilaian menggunakan acuan criteria.
5. Ada program remedial, pengayaan, dan percepatan.
6. Tenaga pengajar atau pendidik merancang pengalaman belajar peserta didik.
7. Tenaga pengajar sebagai fasilitator.
8. Pembelajaran mencakup aspek afektif yang terintegrasi dalam semua bidang studi.


4. ANALISIS KONTEKS KTSP JENJANG SMP
a. Analisis Konteks
Nama Sekolah : SMP N 1 Bojong
Alamat : Jln. Raya Rejosari Bojong, Kabupaten Pekalongan
Status : Sekolah Standar Nasional






o Analisis Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan

Aspek Kesesuaian Keadaan dan Kebutuhan Saat Ini
Pencapaian Kesusuaian dengan Kebutuhan Saat Ini dan Masa Depan
Kesimpulan

Kerangka dasar dan struktur kurikulum Cukup sesuai
Beban belajar Sesuai

KTSP Kurang sesuai

Kalender Pendidikan Sesuai
SKL Satuan pendidikan Kurang sesuai
SKL kelompok mata pelajaran Kurang sesuai
SKL mata pelajaran Sesuai


o Kondisi Satuan Pendidikan
Aspek Kekuatan Kelemahan Kesimpulan
Peserta didik Kemampuan siswa yang beraneka ragam, ada yang sangat menonjol dalam nilai prestasi akademiknya Adanya PSB melalui kualifikasi khusus, yaitu melalui jalur akademik khusus dan olah raga maupun Seni
Adanya muatan input yang kurang sesuai harapan hanya mementingkan tujuan target SSN
Pendidik dan tenaga kependidikan Semua tenaga pendidik berkulifikasi sarjana Ada pendidik yang mengajar mata pelajaran tertentu yang tidak sesuai dengan disiplin ilmu lulusan Adanya suatu ketidaksesuaian antara kebutuhan peserta didik dengan pendidik yang kurang selaras
Sarana dan prasarana Sarana penunjang: perpustakaan, lapangan olahraga, lab. IPA, lab. Komputer, Kurangnya fasilitas penunjang lainnya seperti lab. Bahasa dan lab. Kesenian Kurangnya sarana materi ajar serta keinovatifan siswa dalam mendayagunakan fasilitas
Biaya Dana pemerintah(BOS) dan BSOP Dana BOS tidak mencukupi dalam menunjang sarana prasarana serta fasilitas sekolah sehingga perlu iuran orang tua Adanya ketidakberimbangan anggaran sekolah dengan kebutuhan untuk kelancaran pembelajaran dan tujuan akademik
Program Program yang dibuat sesuai dengan kebutuhan pembelajar dan program kalender akademik Kurangnya keterlibatan guru dalam penyusunan program karena adanya sistem birokrasi yang otonom Perlu melibatkan banyak komponen sekolah dalam menyusun program





o Peluang dan tantangan yang ada di masyarakat
Aspek Peluang Tantangan Kesimpulan
Komite sekolah Komite sekolah sangat mendukung dan partisipatif terhadap kemajuan sekolah Tidak mudah menyamakan persepsi kepada masyarakat yang heterogen Perlu kearifan dan kebijaksanaan sekolah dalam merangkul masyarakat yang beragam
Dewan pendidikan

Dinas pendidikan Dinas pendidikan setempat cukup mendukung dalam hal terintegrasinya wajib belajar 9 tahun
Asosiasi profesi Asosiasi profesi (misal PGRI) sudah terbentuk Kehadiran asosiasi PGRI kurang berperan dalam kemajuan program pendidikan
Dunia industri dan dunia kerja
Sumber daya alam

Sosial budaya




5. KEUNGGULAN KTSP (STRENGH)
Keunggulan KTSP yaitu:
1. Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal.
2. Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
3. KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa. Sekolah dapat menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh daerah kawasan wisata dapat mengembangkan kepariwisataan dan bahasa inggris, sebagai keterampilan hidup.
4. KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat. Karena menurut ahli beban belajar yang berat dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
5. KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan.
6. Guru sebagai pengajar, pembimbing, pelatih dan pengembang kurikulum.
7. Kurikulum sangat humanis, yaitu memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan isi/konten kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah, kemampuan siswa dan kondisi daerahnya masing-masing.
8. Menggunakan pendekatan kompetensi yang menekankan pada pemahaman, kemampuan atau kompetensi terutama di sekolah yang berkaitan dengan pekerjaan masyarakat sekitar.
9. Standar kompetensi yang memperhatikan kemampuan individu, baik kemampuan, kecakapan belajar, maupun konteks sosial budaya.

10. Berbasis kompetensi sehingga peserta didik berada dalam proses perkembangan yang berkelanjutan dari seluruh aspek kepribadian, sebagai pemekaran terhadap potensi-potensi bawaan sesuai dengan kesempatan belajar yang ada dan diberikan oleh lingkungan.
11. Pengembangan kurikulum di laksanakan secara desentralisasi (pada satuan tingkat pendidikan) sehingga pemerintah dan masyarakat bersama-sama menentukan standar pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum.
12. Satuan pendidikan diberikan keleluasaan untyuk menyususn dan mengembangkan silabus mata pelajaran sehingga dapat mengakomodasikan potensi sekolah kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah.
13. Guru sebagai fasilitator yang bertugas mengkondisikan lingkungan untuk memberikan kemudahan belajar siswa.
14. Mengembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan ketrampilan berdasarkan pemahaman yang akan membentuk kompetensi individual.
15. Pembelajaran yang dilakukan mendorong terjadinya kerjasama antar sekolah, masyarakat, dan dunia kerja yang membentuk kompetensi peserta didik.
16. Evaluasi berbasis kelas yang menekankan pada proses dan hasil belajar.
17. Berpusat pada siswa.
18. Menggunakan berbagai sumber belajar.
19. Kegiatan pembelajaran lebih bervariasi, dinamis dan menyenangkan.

6. KELEMAHAN KTSP (WEAKNESS)
Kelemahan KTSP yaitu:
1. Kurangnnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada. Minimnya kualitas guru dan sekolah.
2. Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP .
3. Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik kosepnya, penyusunannya,maupun prakteknya di lapangan
4. Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya pendapatan guru. Sulit untuk memenuhi kewajiban mengajar 24 jam, sebagai syarat sertifikasi guru untuk mendapatkan tunjangan profesi.

7. PELUANG KTSP (OPPORTUNITY)
Peluang KTSP yaitu:
a. Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. KTSP memberikan otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, disertai seperangkat tanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah setempat.
b. KTSP memberi peluang yang lebih luas kepada sekolah–sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan. Pola kurikulum baru pada KTSP adalah memberi kebebasan kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, KTSP ini memberi peluang pada sekolah-sekolah plus untuk lebih mengambangkan variasi kurikulum yang ditetapkan pemerintah.
o Manfaat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bagi Civitas Akademika
1. Mendorong para guru, kepala sekolah dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
Dengan berpijak pada panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh BSNP sekolah diberi keleluasaan untuk merancang, mengambangkan dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sehingga baik guru maupun kepala sekolah dituntut untuk lebih kreatif dalam pelaksanaan pembelajaran, agar kualitas pendidikan bisa lebih baik. Karena guru dan kepala sekolah serta manajeman sekolah merupakan kunci keberhasilan dalam proes belajar mengajar, dan mereka adalah orang yang diberi tanggung jawab dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum untuk mewujudkan pembelajaran yang berkualitas sesuai dengan visi dan misi sekolah tersebut.

2. Guru sebagai fasilitator dalam membantu peserta didik membangun pengetahuan.
Pada kurikulum –kurikulum sebelumnya peran guru adalah sebagai instruktur atau selalu memberi intruksi kepada siswa dan dianggap sebagai orang yang serba tahu segalanya, namun setelah adanya KTSP peran tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena dalam KTSP siswa diposisikan sebagai subyek didik, bukan sebagai obyek didik, diaman siswa lebih dominan dalam proses pembelajaran, hal ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa siswa memiliki potensi untuk berkembang dan berpikir mandiri, karena salah satu ciri pembelajaran efektif adalah “mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.”
Peran guru atau pendidik adalah sebagai fasilitator dan tugasnya adalah merangsang atau memberikan stimulus, membantu peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengertiannya, sedangkan peran peserta didik adalah aktif dalam belajar dan mencerna pelajaran. Dalam KTSP dianut bentuk pembelajaran yang ideal yaitu pembelajaran peserta didik aktif dan kritis, peserta didik tidak kosong tetapi sudah ada pengertian awal tertentu yang harus dibantu untuk berkembang, maka dalam pembelajaran ini modelnya adalah model dialogis. Yang dimaksud dengan model dialogis adalah “model mencari bersama antara guru dan peserta didik.” Dengan adanya model dialogis ini maka peserta didik dapat mengungkapkan gagasannya dan dapat mengkritik pendapat guru yang dianggap kurang tepat.




8. KENDALA KTSP (THREAT)
Ketidaksiapan Sekolah Dasar dalam menyiapkan dokumen KTSP dapat dilihat dari keengganan dalam menyusun KTSP di sekolah yang dipengaruhi oleh tidak tersedianya dana yang memadai untuk menyusun dokumen serta kurangnya pembinaan dari pihak pengawas dan DIKNAS Kabupaten/Kota. Padahal peran tersebut sangat diharapkan oleh sekolah. Kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa terdapat beberapa sekolah dasar yang membeli perangkat dokumen KTSP dari berbagai penerbit yang harganya cukup mahal. Persoalan bagi guru yang paling dominan adalah menumbuhkan pembuatan model-model pembelajaran bagi guru. Kondisi ini menambah persoalan dalam implementasi KTSP di sekolah. Guru cenderung belum memanfaatkan model pembelajaran berbasis kearifan local serta belum tumbuh inovasi dalam pembuatan model pembelajaran. Padahal, kunci suksesnya pelaksanaan KTSP adalah inovasi pembelajaran yang terpusat pada siswa.
Implementasi KTSP di sekolah Menengah Pertama tidak jauh beda dengan kondisi yang dialami oleh sekolah-sekolah penyelenggara KTSP pada tingkat SD. Persoalan yang mengemuka adalah minimnya sosialisasi KTSP pada tingkat sekolah maupun guru. Pemahaman tentang KTSP cukup beragam terkait dengan konsep dasar filosofis maupun teknis pelaksanaan KTSP di sekolah. Dalam hal penataan sekolah perumusan tujuan, visi, dan isi sekolah belum terjabarkan secara implementatif dan terukur tentang upaya-upaya apa saja yang harus ditempuh dan pencapaiannya.
Pada tingkat guru persoalan yang mendasar adalah guru sangat membutuhkan pelatihan tentang penyusunan RPP dengan menggunakan kata-kata operasional yang tepat dengan model-model pembelajaran secara terpadu. Kendala kedua adalah tentang pemahaman system penilaian secara format maupun hakekat penilaian sesuai amanat KTSP. Di samping itu, forum komunikasi guru bidang studi tidak berjalan sebagaimana mestinya, kendala utamanya adalah masalah pendanaan dan kurangnya tim pakar yang seharusnya dapat diatasi melalui peer teaching.
Kurangnya sarana dan prasarana pembelajaran pada umumnya terkait dengan bidang studi. Pada umumnya untuk mata pelajaran Sains sarana laboratorium kurang memadai. Inilah salah satu kendala pelaksanaan pembelajaran yang terintegrasi tidak berjalan sebagai mana mestinya.
Implementasi KTSP di sekolah Menengah Atas dalam konteks kelembagaan ditingkat sekolah sebagian besar sekolah belum terbentuk tim pengembang KTSP. KTSP disusun secara sepenuhnya merujuk pada BNSP dan belum diimbangi oleh inovasi dan kreativitas penyusunan yang berbasis pada kekuatan sekolah penyelenggara. Seperti, perumusan visi dan misi belum terjabarkan dengan baik dalam rencana strategis sekolah secara terukur pencapaiannya.
Pada tingkat guru masih dibutuhkan bimbingan tentang merumuskan kata-kata operasional dalam menyusun desain instruksional. Padahal, pemilihan kata-kata operasional sangat penting untuk menentukan ketepatan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pemahaman tentang pembuatan model-model pembelajaran secara terpadu dan terintegrasi untuk semua bidang studi.
Disamping itu, pemahaman bagi guru tentang sistem penilaian dengan model KTSP belum sepenuhnya diikuti oleh guru. Kurangnya sosialisasi tentang KTSP bagi guru-guru sebagai faktor utamanya. Padahal, memahami secara komprehensif tentang KTSP baik ditingkat sekolah, perencanaan, pelaksanaan, dan sistem evaluasi sangat penting. Terutama pemahaman bagi guru sebagai pelaku agar KTSP dapat berjalan sebagaimana yang telah diamanatkan.
Sekolah diharapkan proaktif mempersiapkan diri menyongsong perubahan kurikulum dengan sikap yang positif dan upaya yang mendukung keberhasilan perubahan itu kearah yang lebih baik. Kepala sekolah dituntut untuk mamfasilitasi dan berinisiasi meningkatkan kemampuan guru-gurunya agar dapat memiliki bekal dan kompetensi yang memadai, tidak saja terampil mengajar dengan menggunakan bahan ajar siap saji, melainkan juga dapat menyusun dan merencanakan sendiri pengajarannya.
Tidak hanya itu, karena KTSP memberi peluang sekolah untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang ada dilingkungan sekitar, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang lebih kompleks dan adaptif terhadap perubahan. Daharapkan dengan diberlakukannya KTSP bisa merangsang guru untuk benar-benar kreatif dalam memfasilitasi siswanya untuk belajar dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekitar. Bahkan, guru harus mempertimbangkan perbedaan-perbedaan pada peserta didik.
Dalam pembelajaran bahasa, guru harus dapat mengetahui dua dimensi konteks belajar bahasa. Menurut Cunningsworth (1995) ada dua dimensi konteks belajar bahasa, yaitu konteks bahasa dan konteks anak. Konteks bahasa antara lain mensyaratkan bahasa yang dipelajari itu harus utuh, tidak lepas-lepas, dan jelas ragamnya. Konteks anak antara lain mensyaratkan bahasa yang dipelajari itu harus sesuai dengan lingkungan, kebutuhan bahasa, kematangan jiwa, dan minat anak. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Cunningsworth tersebut, pemilihan bahan ajar sudah sepatutnya mempertimbangkan kedua konteks tersebut. Nunan (1995) juga mengungkapkan bahwa bahan atau wacana pembelajaran bahasa sebaiknya dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya, kebahasaan, dan kehidupan siswa.
Peserta didik perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membaca secara individual. Misalnya, jika peserta didik datang lebih awal, mereka boleh membaca bacaan yang mereka pilih. Keleluasaan menentukan bahan ajar, seperti tertuang dalam KTSP, sebaiknya juga mempertimbangkan keleluasaan waktu untuk membaca dan mendiskusikan apa yang telah dibaca.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peserta didik berasal dari latar belakang yang beragam. Ada keluarga yang membiasakan anak untuk membaca, ada yang tidak. Guru dapat menunjukkan antusiasmenya dalam kesempatan membaca. Antusiasme guru ini dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Guru juga dapat lebih dahulu membicarakan buku favoritnya, dan menunjukkan bagaimana waktu membaca adalah waktu yang sangat menyenangkan.

INSTRUMEN TES HASIL BELAJAR

• TES:
a. Tes tertulis, terdiri atas :
1) Tes Objektif :
a. Pilihan ganda

Pilihlah salah satu jawaban yang tepat dengan memberi tnda silang (X) pada salah satu huruf a, b, c, d, atau e.
1. Di bawah ini merupakan ciri-ciri karya tulis ilmiah, kecuali....
a. sistematis
b. menyajikan fakta subjektif
c. tidak emotif
d. tidak persuasif
e. ditulis secara tulus dan memuat kebenaran

2. Perhatikan data buku berikut!
Judul buku: Komposisi
Pengarang: Gorys Keraf
Tahun terbit: 1997
Kota terbit: Ende Flores
Penerbit: Nusa Indah
Penulisan daftar pustaka yang sesuai dengan EYD dari data buku dia atas adalah.....
a. Gorys, Keraf.1997.Komposisi. Nusa Indah: Ende-Flores.
b. Keraf, Gorys.Komposisi.1997. Nusa Indah: Ende-Flores
c. Keraf, Gorys.1997.Komposisi.. Nusa Indah: Ende-Flores
d. Keraf, Gorys.1997.Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah
e. Gorys, Keraf.1997.Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah

3. 1. paper 2. makalah 3. kertas kerja 4. skripsi
Berdasarkan data di atas yang merupakan jenis karya ilmiah profesional adalah.....
a. 1,2 c. 2,3 e. 1,4
b. 1,3 d. 3,4
b. Benar salah


c. Menjodohkan


d. Mengisi isian rumpang
Rembulan nanar menatap atap
Hilang berpendar pudar ... (1)
Tertegun sejenak tetap tertangkap
Pulang kembali hamba ... (2)
Hilang sudah apa yang ada
Kapan Tuhan memberikan ... (3) kepada kita.
Agar menimbulkan irama tertentu, isilah kata yang tepat untuk melengkapi puisi di atas?

e. Sebab akibat



f. Esai tertutup

2) Tes Subjektif
a. Tes uraian bebas

b. Tes Lisan
c. Tes kinerja

2. NONTES :
a. Kuesioner
b. Pengamatan
c. Wawancara
d. Penugasan
e. Portofolio






RANCANGAN WAWANCARA TENTANG SUATU FAKTOR
TERDIRI ATAS 5 INDIKATOR

• Wawancara dengan topik : Minat Baca Siswa SMP
Indikator :
a. Berapa jumlah buku yang dibaca dalam satu bulan ?
• Sebulan membaca 1 buku
• Sebulan membaca 2 buku
• Sebulan membaca 3 buku
• Sebulan membaca 4 buku
• Tidak membaca buku sama sekali
b. Apa saja jenis buku bacaan yang dibaca?
• Banyak buku dan beraneka jenis
• Hanya buku–buku sastra
• Hanya buku–buku pengetahuan
• Hanya buku pelajaran
• Hanya media massa/ koran
c. Berapa kali siswa mengunjungi perpustakaan ?
• Setiap hari
• Setiap seminggu sekali
• Satu bulan sekali
• Setiap ada waktu
• Tidak sama sekali
d. Bagimana kesan siswa terhadap buku yang dibaca?
• Menyenangkan
• Menjenuhkan
• Melelahkan
• Menyedihkan
• Tidak tahu

e. Berapa banyaknya buku yang dirangkum siswa?
• 1 – 2 buku
• 3 – 4 buku
• 5 – 6 buku
• Semua buku
• Tidak ada yang dirangkum

Analisis SWOT KTSP SMP

ANALISIS KURIKULUM KTSP DI SMP N 1 BOJONG
KABUPATEN PEKALONGAN

1. LATAR BELAKANG
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional.Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Selain dari itu, penyusunan KTSP juga harus mengikuti ketentuan lain yang menyangkut kurikulum dalam UU 20/2003 dan PP 19/2005.
Panduan yang disusun BSNP terdiri atas dua bagian. Pertama, Panduan Umum yang memuat ketentuan umum pengembangan kurikulum yang dapat diterapkan pada satuan pendidikan dengan mengacu pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang terdapat dalam SI dan SKL.Termasuk dalam ketentuan umum adalah penjabaran amanat dalam UU 20/2003 dan ketentuan PP 19/2005 serta prinsip dan langkah yang harus diacu dalam pengembangan KTSP. Kedua, model KTSP sebagai salah satu contoh hasil akhir pengembangan KTSP dengan mengacu pada SI dan SKL dengan berpedoman pada Panduan Umum yang dikembangkan BSNP. Sebagai model KTSP, tentu tidak dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hendaknya digunakan sebagai referensi.
Panduan pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk :
(a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
(b) belajar untuk memahami dan menghayati,
(c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
(d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
(e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

2. TUJUAN KTSP
Tujuan umum dari kurikulum KTSP yaitu untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum.
Tujuan khusus dari kurikulum KTSP yaitu untuk:
1. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia,
2. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama,
3. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan yang akan dicapai.
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.


3. IMPLEMENTASI KTSP
Kurikulum Tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang dilaksanakan secara nasional sejak tahun 2007/2008 merupakan inovasi tiada henti dalam bidang kurikulum dan sebagai upaya pembaharuan dalam pendidikan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Terkait dengan hal itu sebagian pelaksana pendidikan masih awam untuk mengimplementasikan kurikulum tersebut, karena untuk mengimplementasikan KTSP sesuai dengan panduan atau ketentuan yang dikeluarkan oleh BSNP, maka para pelaksana pendidikan (Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, Guru, Komite Sekolah, Yayasan) harus memahami konsep KTSP secara benar dan komperhensif.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi (SI), proses, kompetensi lulusan(SKL), tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.

KTSP menekankan pada kemampuan yang harus dicapai, dan dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Kemampuan lulusan yang harus dinyatakan dengan standar kompetensi, yaitu kemampuan minimal apa yang harus dicapai lulusan. Standar kompetensi lulusan merupakan modal utama untuk bersaing ditingkat regional maupun global., karena persaingan sumber daya manusia. Karateristik kurikulum ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil belajar dinyatakan dengan kemampuan atau kompetensi yang dapat didemonstrasikan atau ditampilkan.
2. Semua peserta didik harus mencapai ketuntasan belajar, yaitu menguasai semua konpetensi dasar.
3. Kecepatan belajar peserta didik tidak sama.
4. Penilaian menggunakan acuan criteria.
5. Ada program remedial, pengayaan, dan percepatan.
6. Tenaga pengajar atau pendidik merancang pengalaman belajar peserta didik.
7. Tenaga pengajar sebagai fasilitator.
8. Pembelajaran mencakup aspek afektif yang terintegrasi dalam semua bidang studi.


4. ANALISIS KONTEKS KTSP JENJANG SMP
a. Analisis Konteks
Nama Sekolah : SMP N 1 Bojong
Alamat : Jln. Raya Rejosari Bojong, Kabupaten Pekalongan
Status : Sekolah Standar Nasional






o Analisis Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan

Aspek Kesesuaian Keadaan dan Kebutuhan Saat Ini
Pencapaian Kesusuaian dengan Kebutuhan Saat Ini dan Masa Depan
Kesimpulan

Kerangka dasar dan struktur kurikulum Cukup sesuai
Beban belajar Sesuai

KTSP Kurang sesuai

Kalender Pendidikan Sesuai
SKL Satuan pendidikan Kurang sesuai
SKL kelompok mata pelajaran Kurang sesuai
SKL mata pelajaran Sesuai


o Kondisi Satuan Pendidikan
Aspek Kekuatan Kelemahan Kesimpulan
Peserta didik Kemampuan siswa yang beraneka ragam, ada yang sangat menonjol dalam nilai prestasi akademiknya Adanya PSB melalui kualifikasi khusus, yaitu melalui jalur akademik khusus dan olah raga maupun Seni
Adanya muatan input yang kurang sesuai harapan hanya mementingkan tujuan target SSN
Pendidik dan tenaga kependidikan Semua tenaga pendidik berkulifikasi sarjana Ada pendidik yang mengajar mata pelajaran tertentu yang tidak sesuai dengan disiplin ilmu lulusan Adanya suatu ketidaksesuaian antara kebutuhan peserta didik dengan pendidik yang kurang selaras
Sarana dan prasarana Sarana penunjang: perpustakaan, lapangan olahraga, lab. IPA, lab. Komputer, Kurangnya fasilitas penunjang lainnya seperti lab. Bahasa dan lab. Kesenian Kurangnya sarana materi ajar serta keinovatifan siswa dalam mendayagunakan fasilitas
Biaya Dana pemerintah(BOS) dan BSOP Dana BOS tidak mencukupi dalam menunjang sarana prasarana serta fasilitas sekolah sehingga perlu iuran orang tua Adanya ketidakberimbangan anggaran sekolah dengan kebutuhan untuk kelancaran pembelajaran dan tujuan akademik
Program Program yang dibuat sesuai dengan kebutuhan pembelajar dan program kalender akademik Kurangnya keterlibatan guru dalam penyusunan program karena adanya sistem birokrasi yang otonom Perlu melibatkan banyak komponen sekolah dalam menyusun program





o Peluang dan tantangan yang ada di masyarakat
Aspek Peluang Tantangan Kesimpulan
Komite sekolah Komite sekolah sangat mendukung dan partisipatif terhadap kemajuan sekolah Tidak mudah menyamakan persepsi kepada masyarakat yang heterogen Perlu kearifan dan kebijaksanaan sekolah dalam merangkul masyarakat yang beragam
Dewan pendidikan

Dinas pendidikan Dinas pendidikan setempat cukup mendukung dalam hal terintegrasinya wajib belajar 9 tahun
Asosiasi profesi Asosiasi profesi (misal PGRI) sudah terbentuk Kehadiran asosiasi PGRI kurang berperan dalam kemajuan program pendidikan
Dunia industri dan dunia kerja
Sumber daya alam

Sosial budaya




5. KEUNGGULAN KTSP (STRENGH)
Keunggulan KTSP yaitu:
1. Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal.
2. Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
3. KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa. Sekolah dapat menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh daerah kawasan wisata dapat mengembangkan kepariwisataan dan bahasa inggris, sebagai keterampilan hidup.
4. KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat. Karena menurut ahli beban belajar yang berat dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak.
5. KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan.
6. Guru sebagai pengajar, pembimbing, pelatih dan pengembang kurikulum.
7. Kurikulum sangat humanis, yaitu memberikan kesempatan kepada guru untuk mengembangkan isi/konten kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah, kemampuan siswa dan kondisi daerahnya masing-masing.
8. Menggunakan pendekatan kompetensi yang menekankan pada pemahaman, kemampuan atau kompetensi terutama di sekolah yang berkaitan dengan pekerjaan masyarakat sekitar.
9. Standar kompetensi yang memperhatikan kemampuan individu, baik kemampuan, kecakapan belajar, maupun konteks sosial budaya.

10. Berbasis kompetensi sehingga peserta didik berada dalam proses perkembangan yang berkelanjutan dari seluruh aspek kepribadian, sebagai pemekaran terhadap potensi-potensi bawaan sesuai dengan kesempatan belajar yang ada dan diberikan oleh lingkungan.
11. Pengembangan kurikulum di laksanakan secara desentralisasi (pada satuan tingkat pendidikan) sehingga pemerintah dan masyarakat bersama-sama menentukan standar pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum.
12. Satuan pendidikan diberikan keleluasaan untyuk menyususn dan mengembangkan silabus mata pelajaran sehingga dapat mengakomodasikan potensi sekolah kebutuhan dan kemampuan peserta didik, serta kebutuhan masyarakat sekitar sekolah.
13. Guru sebagai fasilitator yang bertugas mengkondisikan lingkungan untuk memberikan kemudahan belajar siswa.
14. Mengembangkan ranah pengetahuan, sikap, dan ketrampilan berdasarkan pemahaman yang akan membentuk kompetensi individual.
15. Pembelajaran yang dilakukan mendorong terjadinya kerjasama antar sekolah, masyarakat, dan dunia kerja yang membentuk kompetensi peserta didik.
16. Evaluasi berbasis kelas yang menekankan pada proses dan hasil belajar.
17. Berpusat pada siswa.
18. Menggunakan berbagai sumber belajar.
19. Kegiatan pembelajaran lebih bervariasi, dinamis dan menyenangkan.

6. KELEMAHAN KTSP (WEAKNESS)
Kelemahan KTSP yaitu:
1. Kurangnnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada. Minimnya kualitas guru dan sekolah.
2. Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP .
3. Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik kosepnya, penyusunannya,maupun prakteknya di lapangan
4. Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurangnya pendapatan guru. Sulit untuk memenuhi kewajiban mengajar 24 jam, sebagai syarat sertifikasi guru untuk mendapatkan tunjangan profesi.

7. PELUANG KTSP (OPPORTUNITY)
Peluang KTSP yaitu:
a. Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. KTSP memberikan otonomi luas kepada sekolah dan satuan pendidikan, disertai seperangkat tanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan daerah setempat.
b. KTSP memberi peluang yang lebih luas kepada sekolah–sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan. Pola kurikulum baru pada KTSP adalah memberi kebebasan kepada sekolah untuk menyusun kurikulumnya sendiri, KTSP ini memberi peluang pada sekolah-sekolah plus untuk lebih mengambangkan variasi kurikulum yang ditetapkan pemerintah.
o Manfaat Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bagi Civitas Akademika
1. Mendorong para guru, kepala sekolah dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan.
Dengan berpijak pada panduan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh BSNP sekolah diberi keleluasaan untuk merancang, mengambangkan dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sehingga baik guru maupun kepala sekolah dituntut untuk lebih kreatif dalam pelaksanaan pembelajaran, agar kualitas pendidikan bisa lebih baik. Karena guru dan kepala sekolah serta manajeman sekolah merupakan kunci keberhasilan dalam proes belajar mengajar, dan mereka adalah orang yang diberi tanggung jawab dalam mengembangkan dan melaksanakan kurikulum untuk mewujudkan pembelajaran yang berkualitas sesuai dengan visi dan misi sekolah tersebut.

2. Guru sebagai fasilitator dalam membantu peserta didik membangun pengetahuan.
Pada kurikulum –kurikulum sebelumnya peran guru adalah sebagai instruktur atau selalu memberi intruksi kepada siswa dan dianggap sebagai orang yang serba tahu segalanya, namun setelah adanya KTSP peran tersebut sudah tidak berlaku lagi, karena dalam KTSP siswa diposisikan sebagai subyek didik, bukan sebagai obyek didik, diaman siswa lebih dominan dalam proses pembelajaran, hal ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa siswa memiliki potensi untuk berkembang dan berpikir mandiri, karena salah satu ciri pembelajaran efektif adalah “mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.”
Peran guru atau pendidik adalah sebagai fasilitator dan tugasnya adalah merangsang atau memberikan stimulus, membantu peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengertiannya, sedangkan peran peserta didik adalah aktif dalam belajar dan mencerna pelajaran. Dalam KTSP dianut bentuk pembelajaran yang ideal yaitu pembelajaran peserta didik aktif dan kritis, peserta didik tidak kosong tetapi sudah ada pengertian awal tertentu yang harus dibantu untuk berkembang, maka dalam pembelajaran ini modelnya adalah model dialogis. Yang dimaksud dengan model dialogis adalah “model mencari bersama antara guru dan peserta didik.” Dengan adanya model dialogis ini maka peserta didik dapat mengungkapkan gagasannya dan dapat mengkritik pendapat guru yang dianggap kurang tepat.




8. KENDALA KTSP (THREAT)
Ketidaksiapan Sekolah Dasar dalam menyiapkan dokumen KTSP dapat dilihat dari keengganan dalam menyusun KTSP di sekolah yang dipengaruhi oleh tidak tersedianya dana yang memadai untuk menyusun dokumen serta kurangnya pembinaan dari pihak pengawas dan DIKNAS Kabupaten/Kota. Padahal peran tersebut sangat diharapkan oleh sekolah. Kondisi riil di lapangan menunjukkan bahwa terdapat beberapa sekolah dasar yang membeli perangkat dokumen KTSP dari berbagai penerbit yang harganya cukup mahal. Persoalan bagi guru yang paling dominan adalah menumbuhkan pembuatan model-model pembelajaran bagi guru. Kondisi ini menambah persoalan dalam implementasi KTSP di sekolah. Guru cenderung belum memanfaatkan model pembelajaran berbasis kearifan local serta belum tumbuh inovasi dalam pembuatan model pembelajaran. Padahal, kunci suksesnya pelaksanaan KTSP adalah inovasi pembelajaran yang terpusat pada siswa.
Implementasi KTSP di sekolah Menengah Pertama tidak jauh beda dengan kondisi yang dialami oleh sekolah-sekolah penyelenggara KTSP pada tingkat SD. Persoalan yang mengemuka adalah minimnya sosialisasi KTSP pada tingkat sekolah maupun guru. Pemahaman tentang KTSP cukup beragam terkait dengan konsep dasar filosofis maupun teknis pelaksanaan KTSP di sekolah. Dalam hal penataan sekolah perumusan tujuan, visi, dan isi sekolah belum terjabarkan secara implementatif dan terukur tentang upaya-upaya apa saja yang harus ditempuh dan pencapaiannya.
Pada tingkat guru persoalan yang mendasar adalah guru sangat membutuhkan pelatihan tentang penyusunan RPP dengan menggunakan kata-kata operasional yang tepat dengan model-model pembelajaran secara terpadu. Kendala kedua adalah tentang pemahaman system penilaian secara format maupun hakekat penilaian sesuai amanat KTSP. Di samping itu, forum komunikasi guru bidang studi tidak berjalan sebagaimana mestinya, kendala utamanya adalah masalah pendanaan dan kurangnya tim pakar yang seharusnya dapat diatasi melalui peer teaching.
Kurangnya sarana dan prasarana pembelajaran pada umumnya terkait dengan bidang studi. Pada umumnya untuk mata pelajaran Sains sarana laboratorium kurang memadai. Inilah salah satu kendala pelaksanaan pembelajaran yang terintegrasi tidak berjalan sebagai mana mestinya.
Implementasi KTSP di sekolah Menengah Atas dalam konteks kelembagaan ditingkat sekolah sebagian besar sekolah belum terbentuk tim pengembang KTSP. KTSP disusun secara sepenuhnya merujuk pada BNSP dan belum diimbangi oleh inovasi dan kreativitas penyusunan yang berbasis pada kekuatan sekolah penyelenggara. Seperti, perumusan visi dan misi belum terjabarkan dengan baik dalam rencana strategis sekolah secara terukur pencapaiannya.
Pada tingkat guru masih dibutuhkan bimbingan tentang merumuskan kata-kata operasional dalam menyusun desain instruksional. Padahal, pemilihan kata-kata operasional sangat penting untuk menentukan ketepatan dalam merumuskan tujuan pembelajaran dan kompetensi yang ingin dicapai dalam proses pembelajaran. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya pemahaman tentang pembuatan model-model pembelajaran secara terpadu dan terintegrasi untuk semua bidang studi.
Disamping itu, pemahaman bagi guru tentang sistem penilaian dengan model KTSP belum sepenuhnya diikuti oleh guru. Kurangnya sosialisasi tentang KTSP bagi guru-guru sebagai faktor utamanya. Padahal, memahami secara komprehensif tentang KTSP baik ditingkat sekolah, perencanaan, pelaksanaan, dan sistem evaluasi sangat penting. Terutama pemahaman bagi guru sebagai pelaku agar KTSP dapat berjalan sebagaimana yang telah diamanatkan.
Sekolah diharapkan proaktif mempersiapkan diri menyongsong perubahan kurikulum dengan sikap yang positif dan upaya yang mendukung keberhasilan perubahan itu kearah yang lebih baik. Kepala sekolah dituntut untuk mamfasilitasi dan berinisiasi meningkatkan kemampuan guru-gurunya agar dapat memiliki bekal dan kompetensi yang memadai, tidak saja terampil mengajar dengan menggunakan bahan ajar siap saji, melainkan juga dapat menyusun dan merencanakan sendiri pengajarannya.
Tidak hanya itu, karena KTSP memberi peluang sekolah untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang ada dilingkungan sekitar, maka guru dituntut untuk memiliki kompetensi yang lebih kompleks dan adaptif terhadap perubahan. Daharapkan dengan diberlakukannya KTSP bisa merangsang guru untuk benar-benar kreatif dalam memfasilitasi siswanya untuk belajar dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia di lingkungan sekitar. Bahkan, guru harus mempertimbangkan perbedaan-perbedaan pada peserta didik.
Dalam pembelajaran bahasa, guru harus dapat mengetahui dua dimensi konteks belajar bahasa. Menurut Cunningsworth (1995) ada dua dimensi konteks belajar bahasa, yaitu konteks bahasa dan konteks anak. Konteks bahasa antara lain mensyaratkan bahasa yang dipelajari itu harus utuh, tidak lepas-lepas, dan jelas ragamnya. Konteks anak antara lain mensyaratkan bahasa yang dipelajari itu harus sesuai dengan lingkungan, kebutuhan bahasa, kematangan jiwa, dan minat anak. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Cunningsworth tersebut, pemilihan bahan ajar sudah sepatutnya mempertimbangkan kedua konteks tersebut. Nunan (1995) juga mengungkapkan bahwa bahan atau wacana pembelajaran bahasa sebaiknya dipilih berdasarkan konteks sosial, budaya, kebahasaan, dan kehidupan siswa.
Peserta didik perlu diberi kesempatan seluas-luasnya untuk membaca secara individual. Misalnya, jika peserta didik datang lebih awal, mereka boleh membaca bacaan yang mereka pilih. Keleluasaan menentukan bahan ajar, seperti tertuang dalam KTSP, sebaiknya juga mempertimbangkan keleluasaan waktu untuk membaca dan mendiskusikan apa yang telah dibaca.
Tidak dapat dipungkiri bahwa peserta didik berasal dari latar belakang yang beragam. Ada keluarga yang membiasakan anak untuk membaca, ada yang tidak. Guru dapat menunjukkan antusiasmenya dalam kesempatan membaca. Antusiasme guru ini dapat menjadi contoh yang baik bagi peserta didik. Guru juga dapat lebih dahulu membicarakan buku favoritnya, dan menunjukkan bagaimana waktu membaca adalah waktu yang sangat menyenangkan.

INSTRUMEN TES HASIL BELAJAR

• TES:
a. Tes tertulis, terdiri atas :
1) Tes Objektif :
a. Pilihan ganda

Pilihlah salah satu jawaban yang tepat dengan memberi tnda silang (X) pada salah satu huruf a, b, c, d, atau e.
1. Di bawah ini merupakan ciri-ciri karya tulis ilmiah, kecuali....
a. sistematis
b. menyajikan fakta subjektif
c. tidak emotif
d. tidak persuasif
e. ditulis secara tulus dan memuat kebenaran

2. Perhatikan data buku berikut!
Judul buku: Komposisi
Pengarang: Gorys Keraf
Tahun terbit: 1997
Kota terbit: Ende Flores
Penerbit: Nusa Indah
Penulisan daftar pustaka yang sesuai dengan EYD dari data buku dia atas adalah.....
a. Gorys, Keraf.1997.Komposisi. Nusa Indah: Ende-Flores.
b. Keraf, Gorys.Komposisi.1997. Nusa Indah: Ende-Flores
c. Keraf, Gorys.1997.Komposisi.. Nusa Indah: Ende-Flores
d. Keraf, Gorys.1997.Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah
e. Gorys, Keraf.1997.Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah

3. 1. paper 2. makalah 3. kertas kerja 4. skripsi
Berdasarkan data di atas yang merupakan jenis karya ilmiah profesional adalah.....
a. 1,2 c. 2,3 e. 1,4
b. 1,3 d. 3,4
b. Benar salah


c. Menjodohkan


d. Mengisi isian rumpang
Rembulan nanar menatap atap
Hilang berpendar pudar ... (1)
Tertegun sejenak tetap tertangkap
Pulang kembali hamba ... (2)
Hilang sudah apa yang ada
Kapan Tuhan memberikan ... (3) kepada kita.
Agar menimbulkan irama tertentu, isilah kata yang tepat untuk melengkapi puisi di atas?

e. Sebab akibat



f. Esai tertutup

2) Tes Subjektif
a. Tes uraian bebas

b. Tes Lisan
c. Tes kinerja

2. NONTES :
a. Kuesioner
b. Pengamatan
c. Wawancara
d. Penugasan
e. Portofolio






RANCANGAN WAWANCARA TENTANG SUATU FAKTOR
TERDIRI ATAS 5 INDIKATOR

• Wawancara dengan topik : Minat Baca Siswa SMP
Indikator :
a. Berapa jumlah buku yang dibaca dalam satu bulan ?
• Sebulan membaca 1 buku
• Sebulan membaca 2 buku
• Sebulan membaca 3 buku
• Sebulan membaca 4 buku
• Tidak membaca buku sama sekali
b. Apa saja jenis buku bacaan yang dibaca?
• Banyak buku dan beraneka jenis
• Hanya buku–buku sastra
• Hanya buku–buku pengetahuan
• Hanya buku pelajaran
• Hanya media massa/ koran
c. Berapa kali siswa mengunjungi perpustakaan ?
• Setiap hari
• Setiap seminggu sekali
• Satu bulan sekali
• Setiap ada waktu
• Tidak sama sekali
d. Bagimana kesan siswa terhadap buku yang dibaca?
• Menyenangkan
• Menjenuhkan
• Melelahkan
• Menyedihkan
• Tidak tahu

e. Berapa banyaknya buku yang dirangkum siswa?
• 1 – 2 buku
• 3 – 4 buku
• 5 – 6 buku
• Semua buku
• Tidak ada yang dirangkum

Jumat, 14 Januari 2011

Kebahasan

GEJALA BAHASA SEBAGAI AKIBAT MOTIVASI
(PEMBANTU RUMAH TANGGA JAWA BERLOGAT JAKARTA)
Oleh: Galih Mardiyoga/0202510055/B2

A. PENDAHULUAN
Fenomena sosial masyarakat daerah yang berbondong-bondong ke kota metropolitan untuk mengubah kehidupan kearah yang lebih baik menjadi sebuah masalah sosial yang sangat kompleks bagi kota tujuan. Megahnya etalase kota, mal, dan pusat-pusat pemerintahan baru dengan gaya arsitektur modern yang dicangkokkan dari rahim modernisme itu sekaligus menandai suatu universalitas nilai kosmopolit dalam masyarakat mutakhir meski selalu terselip keganjilan di dalamnya. Hal tersebut yang menjadi faktor pemikat dalam upaya meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Banyak dari para pendatang tersebut tidak mempunyai ketrampilan maupun ijazah pendidikan formal yang memadai sehingga bekerja sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Kebanyakan dari pendatang tersebut adalah masyarakat Jawa.
Para pendatang dari daerah seringkali dikenal sebagai kaum urban. Urbanitas sendiri dalam konteks sosial ekonomi dan budaya tidak hanya merefleksikan sebuah formasi diskursif tatanan dunia kehidupan sosial politis, tapi juga perubahan paradigmatik didalamnya, dimana nilai-nilai mengalami universalisasi di satu pihak, dan fragmentasi di pihak lain. Itu ditandai oleh capaian teknik, industri, gaya hidup, dan pertukaran budaya di dalamnya meski selalu terselip anomali-anomali di dalamnya. Bahkan, secara sistematik industri kebudayaan yang menandai kultur urban masyarakat itu telah melahirkan marginalisasi, kapitalisasi, dan eksploitasi. Dalam konteks itulah proses urbanisasi yang meniscayakan pertukaran budaya (cultural share), persilangan, dan persenyawaan budaya selalu menarik untuk dilihat terkait dengan bergesernya modus individu dan masyarakat yang ingar-bingar tampil dalam kota-kota besar sebagai hasil dari proyeksi modernitas.

B. MOTIVASI
Motivasi merupakan akibat dari interaksi seseorang dengan situasi tertentu yang dihadapi. Robbins (2001:166) menyatakan definisi dari motivasi yaitu kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi beberapa kebutuhan individual.
Menurut Sondang P. Siagian (dalam Soleh Purnomo 2004:36) motivasi adalah daya pendorong yang mengakibatkan seseorang anggota organisasi mau dan rela untuk menggerakkan kemampuan dalam bentuk keahlian atau ketrampilan, tenaga dan waktunya untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya dan menunaikan kewajibannya, dalam rangka pencapaian tujuan dan berbagai sasaran organisasi yang telah ditentukan sebelumnya.
Menurut Herzberg (1966) ada dua jenis faktor yang mendorong seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan dan menjauhkan diri dari ketidakpuasan. Dua faktor itu disebutnya faktor higiene (faktor ekstrinsik) dan faktor motivator (faktor intrinsik). Faktor higiene memotivasi seseorang untuk keluar dari ketidakpuasan, termasuk didalamnya adalah hubungan antar manusia, imbalan, kondisi lingkungan, dan sebagainya (faktor ekstrinsik), sedangkan faktor motivator memotivasi seseorang untuk berusaha mencapai kepuasan, yang termasuk didalamnya adalah achievement, pengakuan, kemajuan tingkat kehidupan, dsb (faktor intrinsik).
Abraham Maslow (1943;1970) mengemukakan bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kebutuhan pokok. Ia menunjukkannya dalam 5 tingkatan yang berbentuk piramid, orang memulai dorongan dari tingkatan terbawah. Lima tingkat kebutuhan itu dikenal dengan sebutan Hirarki Kebutuhan Maslow, dimulai dari kebutuhan biologis dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks; yang hanya akan penting setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi penentu tindakan yang penting.







• Kebutuhan fisiologis (rasa lapar, rasa haus, dan sebagainya)
• Kebutuhan rasa aman (merasa aman dan terlindung, jauh dari bahaya)
• Kebutuhan akan rasa cinta dan rasa memiliki (berafiliasi dengan orang lain, diterima, memiliki)
• Kebutuhan akan penghargaan (berprestasi, berkompetensi, dan mendapatkan dukungan serta pengakuan)
• Kebutuhan aktualisasi diri (kebutuhan kognitif: mengetahui, memahami, dan menjelajahi; kebutuhan estetik: keserasian, keteraturan, dan keindahan).

Bila makanan dan rasa aman sulit diperoleh, pemenuhan kebutuhan tersebut akan mendominasi tindakan seseorang dan motif-motif yang lebih tinggi akan menjadi kurang signifikan. Orang hanya akan mempunyai waktu dan energi untuk menekuni minat estetika dan intelektual, jika kebutuhan dasarnya sudah dapat dipenuhi dengan mudah. Karya seni dan karya ilmiah tidak akan tumbuh subur dalam masyarakat yang anggotanya masih harus bersusah payah mencari makan, perlindungan, dan rasa aman.
Mc Clelland (1961), menyatakan bahwa ada tiga hal penting yang menjadi kebutuhan manusia, yaitu:
• Need for achievement (kebutuhan akan prestasi)
• Need for afiliation (kebutuhan akan hubungan sosial/hampir sama dengan social need-nya Maslow)
• Need for Power (dorongan untuk mengatur)

Clayton Alderfer mengetengahkan teori motivasi ERG yang didasarkan pada kebutuhan manusia akan keberadaan (exsistence), hubungan (relatedness), dan pertumbuhan (growth). Teori ini sedikit berbeda dengan teori maslow. Disini Alfeder mngemukakan bahwa jika kebutuhan yang lebih tinggi tidak atau belum dapat dipenuhi maka manusia akan kembali pada gerakk yang fleksibel dari pemenuhan kebutuhan dari waktu kewaktu dan dari situasi ke situasi.
Dari berbagai teori di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi juga bisa dikatakan sebagai rencana atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan menghindari kegagalan hidup. Dengan kata lain motivasi adalah sebuah proses untuk tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai motivasi berarti ia telah mempunyai kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam kehidupan.
Motivasi dapat berupa motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi yang bersifat intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobinya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi.

C. CULTURE SHOCK ATAU CULTURE SHARE
Culture Shock adalah perubahan nilai budaya seiring dengan perkembangan jaman dan wawasan yang makin berkembang ini biasanya terjadi pada orang-orang yang secara tiba-tiba berpindah atau dipindahkan ke lingkungan yang baru. Sangat wajar, apabila seseorang yang masuk dalam lingkungan budaya baru mengalami kesulitan dan tekanan mental. Seperti yang dikatakan Nolan: “lingkungan baru membuat tuntutan-tuntutan dimana kita tidak tahu respon yang tepat, dan respon yang kita berikan tidak menunjukkan hasil yang dikehendaki.”
Pembantu Rumah Tangga (PRT) yang mengadu nasib ke kota metropolitan seringkali berubah logat dari daerah ke logat Jakarta yang metropolis. Salah satu faktor yang menjadikan PRT Jawa berlogat Jakarta adalah motivasi. Motivasi yang mempengaruhi hal tersebut tersebut adalah motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Selain itu, titik universalitas nilai seseorang (PRT) tampak ketika manusia konkret dan partikular itu melebur dalam batasan etnik, kultur, dan bahasa menjadi satuan anasir tak terbilang oleh identitas politik maupun ideologi. Tingkat polarisasi dan gejala konsumtivisme menjadi suatu penanda di mana batasan atau pemilahan ideologi itu telah melebur dalam bentuk universalisme modernitas meski tak dapat ditampik selalu ada unsur fragmentasi di dalamnya, terutama dalam bentuk-bentuk baru, seperti meleburnya batasan ideologi dan politik ke wilayah pertukaran hobi dan minat yang sama dari setiap individu di dalamnya.

D. BAHASA DAN SIKAP
Modernitas pun dalam arti tertentu telah meringkus dan meringkas manusia dalam dekapan ruang dan waktu. Di situ temporalitas menjadi keniscayaan dari semangat kebaruan yang tampil dalam masyarakat urban. Bahkan, pilihan dan ruang itu secara implisit diisyaratkan atau bahkan direpresi oleh kepentingan industri, baik itu diintrodusir oleh iklan maupun pencitraan komoditas yang tampil sehingga melahirkan bentuk atau karakter fetish (berhala) dari komoditas. Penyimpangan-penyimpangan itu tampak secara vulgar dalam bentuk budaya narsisme, hedonisme, dan konsumerisme sehingga dalam batas tertentu keteraturan dan normalitas dunia kehidupan modern pun melahirkan budaya schizophrenia sebagaimana tampil dalam bentuk kapitalisme. Tak ada lagi batasan teritori, bahasa, dan etnisitas dalam kultur urban. Semuanya melebur dalam gairah perayaan sekaligus pengorbanan yang lahir dari efek globalisasi. Manusia urban kini tampil sebagai ikon yang seolah telah meninggalkan batas tradisi dan bahasa serta perubahan modus produksi dan aktualisasi di dalamnya sehingga etalase kota pun diriuhkan oleh heterogenitas budaya.

E. KESIMPULAN
Motivasi merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan. Motivasi dapat berupa motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intinsik adalah manakala sifat pekerjaan itu sendiri yang membuat seorang termotivasi, orang tersebut mendapat kepuasan dengan melakukan pekerjaan tersebut bukan karena rangsangan lain seperti status ataupun uang atau bisa juga dikatakan seorang melakukan hobinya. Sedangkan motivasi ekstrinsik adalah manakala elemen elemen diluar pekerjaan yang melekat di pekerjaan tersebut menjadi faktor utama yang membuat seorang termotivasi seperti status ataupun kompensasi.

F. DAFTAR PUSTAKA
Maslow, A. (1984), Motivasi dan Kepribadian, Pustaka Binangan Prestindo: Jakarta.
Robbins. S. P. (1996), Perilaku Organisasi, Jilid 2, Prehallindo: Jakarta.
Siagian. S. (1995), Teori Motivasi dan Aplikasinya, PT. Rineka Cipta: Jakarta.
Siagian. S. (2002), Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, PT. Ardi Mahasatya:
Jakarta.

Minggu, 09 Januari 2011

Pasca-Strukuralis


TEORI  PASCA – STRUKTURALIS

            Pada bagian akhir tahun 1960–an, strukturalisme melahirkan pasca– strukturalisme. Aliran ini mencoba mengempiskan pretense–pretense ilmiah strukturalisme. Jika strukturalisme heroic dalam kehendaknya untuk menguasai dunia tanda yang dibuat orang, maka pasca strukturalisme adalah komik dan anti heroic dalam penolakannya terhadap tuntutan seperti itu secara sungguh–sungguh.
            Pikiran pasca strukturalis telah menemukan kodrat pemaknaan yang tidak stabil secara esensial.Kebanyakan tanda bukanlah sebuah unit berisi dua, seperti sebuah “fix” (penentuan posisi) di antara dua lapisan yang bergerak.
   
ROLAND BARTHES : TEKS JAMAK

             Barthes adalah ahli teori Perancis yang paling menyenangkan, jenaka, dan berani pada tahun 1960–an dan tahun 1970-an.Ia mendefinisikan kesusastraan (dalam sebuah esai awalnya) sebagai sebuah pesan pemaknaan hal–hal dan bukan maknanya. Dosa paling buruk seorang penulis apabila ia berpura–pura bahwa bahasa adalah sebuah medium yang alamiah, transparan dn melaluinya pembaca menangkap kebenaran atau realitas yang kokoh dan menyatu.
            Sesuatu yang menandai fase pasca strukturalis dalam karya–karya Barthes adalah usahanya melepaskan aspirasi ilmiah. Dapat dikatakan bahwa periode pasca– strukturalis Barthes yang paling baik digambarkan oleh esai pendeknya “Kematian Penulis”. Ia menolak pandangan tradisional yang menyatakan bahwa pengarang adalah asal–usul teks, sumber artinya, dan satu–satunya otoritas penafsiran. Formula Barthes sangat radikal dalam penolakannya terhadap gagasan–gagasan humanistik sebagaimana sebelumnya. Pengarang dilepaskan dari semua status metafisik dan direduksi menjadi tempat (persimpangan jalan) di mana bahasa yng menjadi gudang kutipan, ulangan gema, dan rujukan yang tak terbatas, saling bersimpangan. Oleh karena itu, pembaca bebas memasuki teks dari arah manapun; tidak ada rute yang benar. Kematian pengarang sudah terkandung dalam strukturalisme, yang memperlakukan ucapan individual (parole) sebagai system impersonal (langues). Apa yang baru dalam Bartes adalah ide bahwa pembaca bebas membuka dan menutup proses pemaknaan teks tanpa mematuhi petanda.Mereka bebas menikmati teks mengikuti deretan penanda yang semau–maunya meluncur dan mengelak dari tangkapan petandanya. Para pembaca adalah juga tempat–tempat kerajaan bahasa, tetapi mereka bebas menghubungkan teks dengan system arti dan mengabaikan ‘intensi’ pengarang.
            Dalam The Pleasure of The Text  (kenikmatan teks) Barthes (1975)  mengkaji sikap bebas yang semau–maunya ini.Ia mulai dengan pembedaan antara dua arti “pleasure” (kenikmatan). Pleasure diartikan sebagai plesure (kenikmatan) dan “Bliss” (kebahagiaan).

 JULIA KRISTEVA : BAHASA DAN REVOLUSI

            Teori Kristeva didasarkan pada system pemikiran yang khusus: psikoanalisis. Buku ini berusaha melihat proses yang menyebabkan apa yang diatur dan diterima secara rasional terus-menerus terancam oleh sifat “heterogen” dan “irasional”. Pikiran Barat telah lama menganggap keperluan sebuah “subjek” yang diperlukan.
            Kristeva memberikan kepada kita catatan psikologis yang kompleks tentang hubungan antara yang “normal” dan yang “poetic”. Manusia itu merupakan permulaan ruang angkasa yang dilalui lewat impulse psikis dan fisis yang mengalir secara ritmis.
            Kristeva menghubungkan penggunaan bunyi dalam puisi dengan impuls seksual yang primer.        Karena semiotik menjadi teratur, jalan setapak yang ditempuh menjadi sintaksis yang logis dan koheren dan realitas orang dewasa yang disebut oleh Kristeva sebagai “simbolik”. Kristeva mengambil penjelasan Lacan yang mengikuti Freud tentang perkembangan fase ini.
            Kata “revolusi” dalam judul Kristeva bukan hanya metaforik. Kemungkinan perubahan sosial yang radikal menurut pandangannya terikat dengan rongrongan wacana yang bersifat otoriter. Bahasa puisi memperkenalkan keterbukaan semiotik yang subversive “melintasi” sussunan simbolik masyarakat yang “tertutup”.




JAQUES LACAN: BAHASA DAN KETIDAKSADARAN

            Tulisan-tulisan psikoanalitik Lacan telah memberikan teori baru tentang “subjek” kepada para kritikus. Para kritikus Marxis, formalis, dan strukturalis telah membuang kritik sastra subjektif seperti romantik dan reaksioner, tetapi kritik aliran Lacan telah memperkembangkan sebuah analisis “materialis” tentang “subjek yang berbicara” yang telah lebih dapat diterima.
            Lacan menganggap bahwa subjek-subjek manusia itu memasuki system penanda yang telah ada sebelumnya yang mempunyai hanya dalam system bahasa.
            Menurut Freud selama fase-fase awal masa kanak-kanak dorongan lebih tidak mempunyai objek seksual yang tertentu, tetapi bermain sekitar bermaca-macam daerah badan yang menimbulkan nafsu erotic (mulut, dubur, “lingga”.
            Pembedaan Lacan antara “imajiner” dan “simbolik”, sesuai dengan “semiotik” dan “simbolik” bagi Kristeva. “imajiner” ini adalah suatu keadaan yang di dalamnya tidak terdapat perbedaan jelas antara subjek dan objek: tidak ada pusat eksistensi diri untuk memisahkan objek dan subjek.
             Baik yang imajiner maupun yang simbolik tidak dapat secara penuh memahami kenyataan alih yang tetap di luar, di sesuatu tempat yang tak terjangkau mereka. Keperluan naluriah kita dibentuk oleh wacana tempat kita mengekspresikan kehendak kita untuk kepuasan. Bagaimanpun juga pembentukan keperluan-keperluan wacana tidak meninggalkan kepuasan melainkan kehendak, yang menggenlinding dalam rantai penanda.
            Lacan menyatakan kembali teori freud dalam bahasa Saussure. Pada hakikatnya, proses tidak sadar diidentifikasi dengan penanda yang tidak tetap.  Usaha Saussure untuk menutup jurang antar sistem penanda dan petanda sis-sia.
            Aliran Freud yang dianutnya telah mendorong kritik sastra modern untuk meninggalkan kepercayaan kepada kekutan bahasa yang merujuk kepda benda dan mengekspresikan gagasan atau perasaan. Kesusastraan modernis sering menyerupai mimpi dalam  penolakannya terhadap posisi naratif yang menguasai dan permainan artinya yang bebas. Lacan sendiri menulis analisi yang banyak dibicarakan atas “Surat yang Dicuri” karya Poe, sebuah cerita yang berisi dua episode.
             
JACQUES DERRIDA: DEKONSTRUKSI

            Makalah Derrida yang berjudul “ Struktur, Tanda dan Drama dalam Wacana Ilmu–ilmu Pengetahuan Manusia” yang disampaikan dalam symposium di Universitas Johns Hopkins pada tahun 1966 telah membuka gerakan kritik baru di Amerika Serikat. Argumennya mempertanyakan asumsi–asumsi metafisik dasar filsafat barat sejak Plato.
            Menurut Derrida dalam karya klasiknya tentang Gramatologi, kehendak untuk sebuah pusat disebut “Logosentrisme” ( aliran yang memokokkan kata). Sejarah filsafat Barat, bagi Derrida adalah sejarah “Pergantian dari satu pusat ke pusat lain, meski dengan nama dan bentuk yang berbeda-beda”. Ciri yang menonjol dari pemikiran filsafat Barat adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi biner (binary oppositions) yang bersifat hirarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksiden, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/ empiris, positif/negatif, konsep/metaphor dan seterusnya) dengan anggapan bahwa yang pertama merupakan pusat, asal muasal, fondasi, prinsip, dan ada secara niscaya; sedang yang kedua hanya sebagai derivasi, manifestasi, pinggir dan sekunder dalam kaitannya dengan yang pertama (Derrida dalam Sahal, 1994:19).
Pemikiran tentang pusat lebih lanjut Derrida mengungkapkan:
“Pemikiran klasik mengenai struktur, bisa mengatakan bahwa pusat, secara paradoksal, berada di dalam struktur dan sekaligus di luarnya. Maka secara tradisional, pusat-pusat biasa digunakan untuk mendasarkan struktur-struktur. Namun jika kita berpikir mengenai implikasi-implikasi paradoks itu, kita akan menyadari bahwa pendasaran tersebut hanyalah ilusi. Nietzsche, Freud, dan Heidegger (untuk menyebut tiga nama saja), telah membimbing kita untuk memandang bahwa tidak ada pusat, bahwa pusat tak dapat dipikirkan dalam bentuk suatu ada-yang-hadir, bahwa pusat tidak memiliki situs ilmiah, bahwa pusat bukanlah suatu fokus yang pasti namun merupakan suatu fungsi, sejenis non-locus di mana pertukaran tanda dalam jumlah tak terbatas berlangsung” (Derrida dalam Hart, 2002: 76).
Mencermati hal itu, Derrida lantas melakukan apa yang disebut dengan dekonstruksi, yakni upaya membebaskan dari belenggu berpikir oposisi biner. Dekonstruksi bagi Derrida juga merupakan “an oppennes towards the others”, terbuka terhadap yang lain. Istilah dekonstruksi awalnya digunakan Heidegger, khususnya manakala ia berkata bahwa; “… konstruksi dalam filsafat itu dengan sendirinya harus serentak destruksi, yaitu dekonstruksi konsep-konsep tradisional dengan cara justru kembali ke tradisi ….” (Heidegger dalam Sugiharto, 1996:43).
Dekonstruksi sangat sulit didefinisikan. Justru dekonstruksi menolak definisi karena Derrida menghalangi pendefinisian tersebut. Ia mulai dengan menegaskan bahwa dekonstruksi bukan sebuah metode atau sebuah teknik, atau sebuah gaya kritik sastra literatur atau sebuah prosedur untuk menafsirkan teks. Ia memperingatkan kita agar tidak menggantikan pembacaan dekonstruksi dengan pemahaman konseptual tentang pembacaan tersebut (Grenz, 2001: 235).
Dekonstruksi juga tidak mengarahkan pada bentuk netralitas, tapi lebih pada usaha menjungkirbalikkan dualisme klasik, seperti yang diungkapkan Derrida: “Dekonstruksi tidak dapat membatasi dirinya pada netralisasi atau maju menuju netralisasi, ia harus menjungkirbalikkan dualisme klasik dan memporak-porandakan sistem yang ada melalui bahasa tubuh berganda, ilmu pengetahuan berganda, dan tulisan berganda. Hanya dalam situasi ini, dekonstruksi dapat menembus masuk dalam dualisme yang dikritiknya, yang juga merupakan area kekuatan-kekuatan yang tidak terputus. Setiap konsep berada dalam rantai sistematis dan pada dirinya merupakan sebuah sistem penyebutan. Tidak ada konsep metafisik dalam dan pada dirinya sendiri. Ada sebuah karya–metafisik atau bukan–mengenai sistem–sistem konseptual. Dekonstruksi bukan berpindah dari satu konsep kepada konsep lainnya, tetapi menjungkirbalikkan dan merusak sebuah tatanan konseptual dan tatanan nonkonseptual, yang merupakan sarana untuk menyatakan sebuah tatanan konsep” (Derida dalam Grenz, 2001: 236).
Derrida mengungkapkan bagaimana selama ini sebuah tulisan membawa sebutan-sebutan yang telah ditata, dipisahkan, dan dipertahankan oleh kekuatan-kekuatan dan disesuaikan dengan kebutuhan analisis. Sebutan-sebutan inilah yang memiliki kekuatan mengatakan secara umum (generalisir), menyamakan segala sesuatu (generalisasi), dan melahirkan sesuatu yang baru (generativitas) menganggap dirinya bebas menuju sebuah konsep penulisan “baru” yang juga berhubungan dengan segala sesuatu yang menghambat penataan kekuatan-kekuatan yang dulu.
Penataan yang dulu selalu berupa sisa-sisa yang tidak dapat dileburkan kepada kekuatan dominan yang mengatur hierarki logisentris. Memberikan nama penulisan yang lama kepada konsep yang baru ini, sama dengan mempertahankan struktur pencangkokan, perpindahan, dan penempelan kepada intervensi efektif dalam sejarah yang ada. Ini juga memberikan kesempatan dan kekuatan, khususnya kekuatan komunikasi mereka, dan segala sesuatu yang diperlukan dalam melaksan akant ugas dekonstruksi (Grenz, 2001:236).
Filsafat itu pada dasarnya adalah tulisan, ambisi filsafat umumnya adalah melepaskan diri dari statusnya sebagai tulisan itu, keluar dari bentuk fisik kebahasaan yang digunakannya itu. Ia ingin agar bahasa yang digunakannya itu menjadi sasaran transparan yang menampilkan makna dan kebenaran real yang bersifat ekstralinguistik. Cara yang biasanya ditempuh adalah dengan mengacu pada dasar yang diklaim sebagai eviden dan menata logika sedemikian rupa hingga tampil utuh, koheren dan tidak ambigu. Namun bagi Derrida semua ambisi dan upaya macam itu takakan pernah mungkin berhasil.
Pembacaan dekonstruktif lalu hendak menunjukkan ketidakberhasilan itu, yaitu menunjuk agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks. Maka Derrida meyakini, bahwa; “Di balik teks filosofis yang terdapat bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain, suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tidak jelas”. (Sugiharto, 1996: 45). Pada akhirnya bagi Derrida, tidak ada dunia murni yang netral karena semuanya merupakan “teks”, jalinan tanda-tanda. Karena makna tidak langsung hadir pada tanda, maka yang kita dapatkan hanyalah “bekas” (trace).
Dalam Areopagitica Milton menantang lisensi buku karena ia percaya bahwa kita hanya dapat berbudi luhur jika kita diberi kesempatan berjuang melawan kejahatan: bahwa yang menyucikan kita adalah percobaan,, percobaan adalah sesuatu yang bertentangan. Karena itu kebaikan datang sesudah kejahatan. Suatu pembacaan dekonstruksi akan berlangsung untuk mengakui bahwa pasangan kebaikan-kejahatan tidak dapat diurutkan secara hirarki dalam arah mana pun tanpa kekerasan. Kejahatan merupakan tambahan dan penggantian. Dekonstruksi telah dapat dimulai apabila kita menempatkan waktu ketika sebuah teks melampaui hokum-hukum yang tampaknya mengadakan dirinya sendiri. Pada titik ini teks menjadi kepingan-kepingan begitu dikatakan.
Dalam “Tanda tangan Peristiwa Konteks” Derrida memberikan tiga ciri kepada tulisan:
1.      Tanda tertulis adalah sebuah tanda yang dapat diulangi tanpa kehadiran, bukan hanya ketakberadaan subjek yang mengucapkannya dalam konteks tertentu, tetapi juga keberadaan seorang addressee (lawan bicara);
2.      Tanda tertulis dapat merusakkan “konteksnya yang nyata” dan dapat dibaca dalam konteks yang berbeda tanpa memandang apa yang dimaksudkan pengarangnya. Setiap rangkaian tanda dapat “dicangkokkan “ menjadi wacana dalam konteks yang lain (seperti dalam kutipan);
3.      Tanda tertulis tunduk kepada “pembuatan jarak” (“espacement”) dalam dua arti: pertama, arti itu terpisah dari “referensi yang hadir” (yaitu, arti itu dapat merujuk kepada hanya sesuatu yang tidak secara nyata hadir di dalamnya). 

Teori J.L. Austin tentang “laku ujaran” dikembangkan untuk menolak pandangan tentang bahasa positivis-logis yang lama, yang berasumsi bahwa hanya pernyataan yang lain bukanlah pernyataan yang nyata, melainkan “pernyataan palsu”. Austin mempergunakan istilah “konstatif” untuk merangkum yang pertama (pernyataan rujukan), dan “performatif” untuk merangkum ujaran yang secara nyata melaksanakan lakuan yang mereka uraikan  (aku bersumpah untuk menceritakan seluruh kebenaran dan tiada yang lain kecuali kebenaran, semata dalam perwujudan sebuah doa).
Derrida mengakui bahwa hal ini membuat pemutusan dengan pemikiran logosentrisme sebab sebagaimana diketahui ujaran itu tidak harus menggambarkan sesuatu yang mempunyai arti. Namun, Austin juga membedakan tingkat-tingkat kekuatan linguistik. Untuk membuat hanya sebuah ucapan linguistik (katakanlah, mengucapkan sebuah kalimat bahasa inggris, misalnya) itu adalah tindak locutionary (cara berkata). Laku ujaran yang tidak mempunyai kekuatan illocutionary melibatkan pelaksanaan laku itu (untuk berjanji, bersumpah, menuntut, memastikan, dan sebagainya. Sebuah laku  ujaran mempunyai kekuatan perlocutionary jika laku ujaran itu menghasilkan sebuah efek (Aku membujukmu dengan menuntut;aku meyakinkan dengan bersumpah ; dan sebagainya).
Austin mensyaratkan bahwa laku ujaran harus mempunyai konteks. Sebuah sumpah hanya mungkin terjadi di pengadilan dalam rangka persidangan yang tepat atau dalam situasi-situasi lain yang secara konvensional sumpah dilakukan. Derrida mempertanyakan hal ini dengan menyarankan bahwa kemungkinan ulangan (“iterability”) laku ujaran itu adalah lebih mendasar daripada penempelannya pada suatu suatu konteks.

Austin mencatat sambil lalu bahwa agar bersifat “performatif” sebuah pernyataan harus diucapkan secara “sungguh-sungguh” dan tidak untuk lelucon atau sepert dipergunakan dalam drama atau puisi. Derrida menyelidiki hal ini dan secara rapi memperlihatkan bahwa performatif (pelaksanaan) “yang serius” tidak dapat terjadi kecuali jika hal itu merupakan rangkaian-tanda yang dapat diulang (apa yang disebut oleh Barthes “selalu-telah-tertulis”.


DEKONSTRUKSI SEBAGAI SEBUAH STRATEGI

. Derrida menyatakan dalam sebuah tulisannya bahwa dekonstruksi bukanlah sebuah teori, bukan pula sebuah metode atau konsep, saya melihat Derrida tidak memberikan definisi yang mudah pada Dekonstruksi. Selanjutnya, dalam essaynya tersebut Derrida mulai memberikan indikasi bahwa Dekonstruksi adalah sebuah strategi, dimana kontekspun juga dikategorikan sebagai teks.
Derrida menyebut Dekonstruksi sebagai aksi pembongkaran, pemisahan, dan penghancuran konstruksi dalam suatu system teks, dengan tujuan untuk melakukan investigasi dan explorasi terhadap aspek-aspek dan hal-hal yang terdefer atau yang tertunda. Tertunda disini maksudnya adalah segala sesuatu yang tidak disampaikan teks, tidak terlihat, dan tidak disebutkan di dalam teks, wujud dari hal-hal yang terdefer ini adalah kontradiksi, atau menurut istilah Dekonstruksi disebut Aporia. Aporia adalah kunci bagi proses Dekonstruksi, kunci untuk membongkar dan mengguncang suatu system teks. Selanjutnya proses dekonstruksi akan bermuara pada penyerangan untuk mematahkan dan membantah Hierarchy yang mendominasi suatu teks. Hierarchy atau Tyranny adalah istilah dekonstruksi yang mengacu pada segala sesuatu (tema, anggapan, diskursus, Ideologi, sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran, segala sesuatu yang dinggap salah, atau apa saja yang terlihat jelas mendominasi di dalam teks) inilah yang menjadi target untuk dipatahkan, dibantah, dan diputar balikkan sehingga hal-hal atau aspek- aspek yang selama ini tidak terlihat dan terdefer bisa diangkat ke permukaan teks.
Balik lagi ke differance, kita tahu bahwa Differance adalah salah satu dari beberapa terminologi Dekonstruksi, dan semua itu digolongkan sebagai strategi. Differance adalah strategi analitik yang paling banyak digunakan selain Pharmakon, Parergon, Ecriture, invagination, Hymen, Antame dll. Berbicara mengenai Differance kadang-kadang terkesan mengerikan, karena Derrida selalu menghubungkannya dengan kehancuran dan kematian, tentu kematian yang dimaksud Derrida adalah patahnya atau terbantahnya sebuah hierarchy yang selama ini mendominasi teks.
Ini adalah tiga kutipan dari buku Margin of Philosophy yang menegaskan bahwa pengaplikasian strategi Differance dalam proses dekonstruksi adalah bertujuan untuk menggoncang, membongkar, dan menghancurkan atau mematahkan segala sesuatu yang mendominasi sebuah teks, Derrida bahkan mengatakan bahwa penggunaan strategi differance adalah dimaksudkan untuk menghasilkan kondisi ekonomi kematian bagi hierarchy, atau kondisi hancurnya suatu hierarchy yang mendominasi teks. 
Disinilah peranan proses investigasi terhadap segala sesuatu yang tidak disampaikan teks atau kontradiksi yang tidak terlihat/tidak muncul/tertunda (terdefer), proses ini akan membawa kondisi kematian bagi suatu hiearachy atau dalam bahasa yang lebih sederhana saya sebut saja kondisi patahnya atau terbantahnya hal-hal yang mungkin mendominasi dan dianggap benar (bisa juga terhadap hal-hal yang dianggap salah) di dalam teks dan di dalam pikiran orang-orang selama ini.
 
DEKONSTRUKSI ALIRAN AMERIKA

Raman Selden dan Peter Widdowson menjelaskan secara gamblang tentang pemetaan kajian pasca-struktural dalam buku A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory: Third edition, kajian pasca-struktural memainkan peranan sebagai ‘grand theory’ dalam bahasa Indonesia saya terjemahkan sebagai sebuah teori besar, di bawah bendera pasca-struktural bernaung beragam teori, contohnya: Dekonstruksi (Derrida) American Deconstruction/Yale School/dekonstruksi Amerika  (Paul De Man, Harold Bloom, Hayden White), kajian New Functionalism yang terbagi atas Panopticism, Discourse and Power/knowledge (Michel Faucault), Post-structuralist Psychoanalysis (Jacques Lacan), Schizoanalysis (Deleuze dan Guattari), New Historicism (Stephen Greenblatt, Tilyard). Sedangkan Hans Bertens dalam bukunya Literary Theory The Basics menambahkan bahwa French Feminism (Helene Cixous) juga dikategorikan sebagai bagian dari kajian Pasca Struktural. Jadi jelaslah sudah bahwa pasca-struktural itu bukan cuma Dekonstruksi saja, akan tetapi mencakup beragam teori-teori lain.
Karya Paul de Man, Kebutaan dan penglihatan (1971) dan Alegori–alegori Pembacaan (1979) adalah karya–karya dekonstruksi yang keras dan mengesankan. Mereka jelas berutang budi pada Derrida, tetapi Derrida memperkembangkan terminologinya sendiri. Dalam buku yang pertama de Man mengisahkan tentang paradoks bahwa kritikus hanya mencapai penglihatan melalui kebutaan tertentu. Mereka mengambil suatu metode atau suatu teori yang sangat ganjil dengan penglihatan yang dihasilkannya.
Dalam Alegori Pembacaan de Man memperkembangkan suatu tipe dekonstruksi yang retoris.”Retorik” adalah istilah klasik bagi seni persuasive de Man berkenaan dengan teori “trope” (bahasa kiasan)yang mengikuti perlakuan retoris.Bahas kiasan (trope) membiarkan para penulis untuk mengatakan satu hal tetapi berarti sesuatu yang lain: mengganti satu tanda bagi yang lain (metafora)atau mengganti arti satu tanda dalam sebuah rangkaian dengan yang lain ( metonimi)
Beberapa kritikus yang mengikuti jejak Paul de Man adalah Hayden white dengan bukunya yang berjudul Tropics of Discourse (1978) , Harold Bloom, Geofrey Hartman, J.Hillis Miller, dan masih ada beberapa penulis lain.

 WACANA DAN KEKUATAN: MICHEL FOUCAULT DAN EDWARD SAID

Pikiran pasca-strukturalis yakin bahwa dunia bukan hanya suatu tatasurya teks. Beberapa teori tekstualis melalaikan kenyataan bahwa wacana tersebut meliputi kekuasaan. Mereka mereduksi kekuasaan politik dan ekonomi, serta kontrol ideologi dan moral. Kepada aspek-aspek yang berkaitan dengan proses pemaknaan. Ketika seorang Hitler dan Stalin tampak mendikte kepada seluruh bangsa dengan tenaga wacana, absurdlah untuk memperlakukan efek itu sebagai hanya terjadi dalam wacana. Nyatalah bahwa kekuasaan sebenarnya dilaksanakan melalui wacana dan kekuasaan.
Nietzsche merupakan seorang filosof Jerman yang mengatakan bahwa orang pertama sekali memutuskan apa yang diingini,setelah itu mencocokkan fakta dengan tujuan itu; “Akhirnya, orang tidak mendapatkan apa-apa dalam benda kecuali apa yang telah diimportnya sendiri kepada hal-hal itu”. Semua pengetahuan adalah suatu ekspresi “Kehendak kepada kekuasaan”. Berarti bahwa kita tidak dapat berbicara tentang sesuatu kebenaran yang mutlak atau tentang pengetahuan yang objektif. Orang mengenal karya filsafat khusus atau teori kelimuan sebagai “benar” hanya jika hal itu cocok dengan deskripsi kebenaran yang diletakkan oleh otoritas intelektual dan politis pada saat itu, dengan anggota-anggota elite yang memerintah, atau dengan ideologi pengetahuan yang berlaku.
Foucault memandang wacana sebagai pusat aktivitas manusia, tetapi bukan sebagai “teks umum” yang universal, sebuah lautan makna yang luas. Foucault tertarik pada dimensi historis tentang perubahan yang tidak saling bersambungan. Apa yang mungkin dikatakan akan berubah dari satu zaman ke zaman lain. Dalam ilmu pengetahuan, sebuah teori tidak diakui dalam periodenya sendiri jika teori itu tidak bersesuaian dengan konsensus kekuasaan lembaga-lembaga dan organ-organ resmi ilmu pengetahuan.
Teori genetik Mendel tidak diacuhkan orang pada tahun 1960-an: teori itu diumumkan dalam “kekosongan” dan harus menanti sampat abad ke-20 untuk dapat diterima. Tidaklah hanya cukup berbicara tentang kebenaran: orang harus berada “dalam kebenaran”.
Dalam karya awalnya pada “Kegilaan”. Foucault menjumpai kesukaran untuk mendapatkan contoh-contoh wacana “gila” (kecuali dalam kesusastraan: de Sade, Artaud). Kesimpulannya bahwa aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang memutuskan apa yang mereka keluarkan. Individu-individu yangbekerja dalam praktik wacana tertentu tidak dapat berpikir atau bicara tanpa menuruti “arsip” aturan-aturan dan batasan-batasan yang tidak diucapkan. Penguasaan kerja wacana ini tidak hanya dengan pengeluaran, tetapi juga “penghalusan” (tiap praktik mempersempit isi dan artinya dengan berpikir hanya dalam istilah “penulis” dan “disiplin”).
Buku-buku Foucault, terutama Madness and Civilization (1961), The Birth of the Clinic (1963), The Order of Things (1966), Discipline and Punish (1975), dan The History of Sexuality (1976) menunjukkan bermacam-macam bentuk “pengetahuan” tentang seks, kejahatan, psikiatri, dan obat-obatan yang muncul dan digantikan. Ia memusatkan perhatian pada pergeseran yang terkadi dari zaman ke zaman.
Kebijakan pengetahuan seringkali dihubungkan dengan nama pribadi (Aristoteles, Plato, Aquinas, Locke, dan sebagainya), namun perangkat aturan struktural yang menerangkan bermacam-macam bidang ilmu pengetahuan berada di luar kesadaran individu.

Dalam The Order of Things (Aturan Benda-benda), Foucault menunjukkan bahwa dalam periode ini persamaan memainkan peran utama dalam susunan semua pengetahuan. Tiap-tiap hal menggemakan hal lain; tak satu pun berdiri sendiri. Pandangan dalam puisi John Donne, yang pikirannya tidak pernah berhenti pada  sebuah objek, tetapi beregrak ke belakang dan ke muka dari rohani ke jasmani, dari Kemanusiaan ke Ketuhanan; dari universal ke individual. Dalam karyanya Kesetiaan ia  menguraikan dalam istilah kosmik gejala-gejala penyakit demam yang hampir membunuhnya, menghubungkan mikrokosmos (manusia) dengan makrokosmos (alam); kegemetarannya adalah “gempa bumi”, kelemahannya adalah “gerhana”, dan nafas demamnya yang panas adalah “bintang-bintang yang menyala”.
Melalui Nietzsche, Foucault menolak bahwa kita pernah memiliki pengetahuan sejarah yang objektif. Tulisan sejarah akan menjadi kusut dalam kiasan-kiasan (trope); tulisan sejarah itu tak pernah dapat menjadi sebuah ilmu pengatahuan. Revolusi dan Ulangan (1979) karya Jeffrey Mehlman menunjukkan bagaimana Bramaire Kedelapan Belas karya Marx menggambarkan “revolusi” Louis Napoleon sebagai sebuah”ulangan menggelikan” dari revolusi pamannya. Catatan sejarah Marx, menurut Mehlman, menyatakan ketidakmungkinan pengetahuan; hanya ada trope (kiasan) “ulangan” yang absurd. Foucault tidak memperlakukan strategi yang bisa dipakai penulis berguna untuk memberi arti pada sejarah sebagai permainan tekstual semata-mata. Dalam dunia politik, seni, dan ilmu pengetahuan, kekuasaan diperoleh lewat wacana; wacana adalah “perkosaan yang kita lakukan terhadap benda-benda”.
Tuntutan kepada objektivitas yang dibuat demi wacana tertentu selalu palsu, tidak ada wacana yang “benar” secara mutlak, hanya lebih kurang merupakan wacana yang mempunyai kekuatan.
Edward Said (murid Foucault di Amerika) yang merupakan seorang Palestina tertarik pada versi pasca-strukturalis aliran Nietzsche Foucault karena hal itu mengizinkannya menghubungkan teori wacana dengan perjuangan kemasyarakatan dan politik yang nyata. Bukunya tentang Orientalisme menunjukkan bagaimana imaji Barat tentang Bangsa Timur, yang terbentuk oleh beberapa jenis generasi sarjana menghasilkan mitos tentang kemalasan, kebohongan, dan ketidakrasionalan bangsa Timur. Dengan menentang wacana Barat ini Said mengikuti logika teori-teori Foucault; tidak ada wacana yang tetap untuk selamanya; baik sebab maupun akibat.

Dalam esai berjudul The World, the Text, and the Critic (1983), Said mengeksplorasi “keduniaan” teks. Ia menolak pandangan bahwa ucapan ada dalam dunia, dan bahwa teks dipindah dari dunia, hanya memiliki keberadaan yang kabur dalam pikiran para kritikus. Ia yakin bahwa kritik sastra masa kini menyatakan secara berlebih-lebihan “ketidakterbatasan” penafsiran karena kritik itu memotong hubungan antar-teks dengan kenyataan. Kasus Oscar Wilde menyarankan Said bahwa semua usaha untuk menceraikan teks dari kenyataan akan berakhir dengan kegagalan. Wilde mencoba menciptakan sebuah dunia dalam sebuah epigram.
Kekuatan sebuah kritik menurut Said yang menekankan bahwa jika kita menulis sebuah esai kritik, kita dapat masuk ke satu atau beberapa hubungan dengan teks dan pembaca, atau pada sisi salah satu diantaranya. Said mengemukakan sebuah pernyataan yang menarik perhatian mengenai konteks kesejarahan nyata esai itu: “Apakah kualitas ucapan esai, terhadap, jauh dari, ke dalam aktualitas, arena vitalitas kesejarahan dan kehadiran nontekstual yang terjadi secara simultan dengan esai itu sendiri?” singkatnya, karena pikiran pasca-strukturalis tidak memasukkan yang “nontekstual”. Kata-katanya (aktualitas, nontekstual, kehadiran) adalah sebuah penghinaan kepada pasca-strukturalisme.
Para kritikus strukturalis mengemukakan usaha mengusai teks dan membongkar rahasianya. Kaum pasca-strukturalis yakin bahwa keinginan ini sia-sia karena kekuatan sejarah atau linguistik yang tidak disadari, yang tidak dapat dikuasai. Pendanda (signifier) mengambang jauh dari petanda (signified), juissance (kenikmatan) melarutkan arti, semiotik mengacaukan simbolik, difference (perbedaan) menyisipkan pemisah antara penanda dan petanda, dan kekuatan membubarkan pengetahuan yang mantap. Pasca-strukturalis lebih mennayakan masalah-masalah daripada jawaban-jawaban; mereka menangkap perbedaan-perbedaan diantara apa yang dikatakan teks dan apa yang dipikirkan untuk dikatakannya. Mereka menolak keterpencilan “kesusastraan” dan mendekonstruksi wacana-wacana nonliterer dengan membacanya sebagai kesusatraan.